Syahadat Dan Bai’at
PEMERINTAHAN RASULULLAH 6
THE JAMBI TIMES - Seperti disebutkan pada bab sebelum ini, sumpah setia adalah bagian
penting dari penegakan Dinul Islam sebagai sebuah organisasi, yang di
dalamnya tentu ada formalitas. Sumpah setia itu disebut dengan istilah
syahadat dan atau bai’at.
Makna syahadat
a. Pengertian umum
Secara umum, syahadat (syahadah) adalah kebalikan dari gaib (ghaib). Dan kita akan membahas masalah ini dalam konteks Al-Qurãn sebagai ilmu.
Al-Quran sebagai ilmu, mempunyai aspek teoritis yang disebut al-ghaibu (ghaib) dan aspek praktis, yang disebut asy-syahadatu (syahadah). Persamaan kata al-ghaib antara lain adalah as-sirr, al-mustatir, al-batin, dll. Dalam konteks ilmu, al-ghaib adalah al-ma’nawiyy (المعنويّ).
Al-ghaib bukanlah sesuatu yang tidak ada, tapi ia adalah “sesuatu
yang tidak teraba dan tidak terlihat”, karena terdapat di tempat yang
jauh (بعُد عنه و باينهُ) dan atau tersembunyi, atau karena ia adalah
sebuah pemikiran atau gagasan (idea), sesuatu yang hanya bersifat makna
(maknawi).
Kebalikan dari al-ghaib adalah asy-syahahadah. Dalam definisi kamus
Al-Munjid, asy-syahaddah adalah segala alam (benda) yang) nampak,
sebagai kebalikan dari alam gaib (عالَم الاكوان الظاهرة ويقابله عالَم
الغيب).
Dalam konteks ilmu dan manusia yang mempelajarinya, syahadah adalah
proses atau praktik penjelamaan al-ghaib (ilmu, teori) menjadi sesuatu
yang kasat mata alias musyahad (مشاهَد ). Dengan kata lain,
syahadah, dalam konteks teori ilmu, adalah proses analitika dan
obyektifita suatu ilmu. Segi lain syahadah bisa berarti sesuatu yang
kasat mata.
Sesuatu yang kasat (terlihat) mata itu bisa berupa bangunan fisik,
yang dalam bahasa Arab disebut bina’un (بناء) atau bun-yanun (بنيان).
Tapi bila merujuk kata Nabi: buniya-l-Islamu ’ala khamsin (بُني الإسلام
على خمس), dan kata Allah: إنّ الله يحب الذين يقاتلون فى سبيل الله صفا
كأنهم بنيان مرصوص , maka bina’un atau bun-yanun itu juga mencakup
bangunan non-fisik, yakni seperti lembaga atau organisasi.
Lebih konkret, al-ghaib itu dalam Al-Quran juga disebut dengan
istilah ayat (آيات), yaitu ayat qauliyah (= firman), yang kini tertulis
dalam mushhaf. Pasangan dari ayat ini adalah liqa’ihi (لقائه), yakni
perwujudannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah ayat-ayat berikut
ini:
– قل هل نُنبّئُكم بالأخسرين أعمالا – الذين
ضلّ سَعيُهم فى الحيوة الدنيا و هم يحسبون أنهم يُحسنون صُنعا – ألائك
الذين كفروا بآيات ربهم و لقائه فحبِطت أعمالُهم فلا يقيم لهم يوم القيامة
وزنا – ذالك جزاؤهم جهنّمُ بما كفروا واتّخذوا آياتى ورسلى هُزُوا – إنّ
الذين
آمنوا وعملواالصالحات كانت لهم جناتُ الفردوس نُزلا
Tawarkan kepada mereka (Yahudi), “Maukah kalian kami beritahu tentang
orang-orang yang bangkrut karena perilaku mereka?” Mereka adalah
orang-orang yang dalam hidup di dunia ini bertindak menyimpang (dari
ajaran Allah), tapi mereka beranggapan bahwa mereka sedang membangun
(ajaran Allah) dengan sebaik-baiknya. Mereka mengingkari ayat-ayat
(konsep) Allah dan perwujudannya. Maka putuslah segala usaha mereka
(tidak ‘nyambung’ dengan harapan), sehingga ketiba tiba saat tegaknya
ajaran Allah (yaumul-qiyamah), mereka tak layak dipertimbangkan.
Jahanamlah ganjaran yang layak bagi mereka, karena mereka memperlakukan
ayat-ayatku yang disampaikan para rasulku sebagai per-mainan. Sedangkan
bagi para mu’min yang berbuat tepat (sesuai petunjuk Allah), tersedia
jannatul-firdaus sebagai tempat tinggal. (Al-Kahfi/18: 103-107)
Di sini ditegaskan b ahwa ayat آيات dan liqa’ihi لقائه (pada ayat-ayat lain liqa’na –
لقاءنا – dan sebagainya) adalah dua aspek yang tak terpisahkan. Satu
segi, ayat (harfiah berarti tanda, alamat, gambaran) adalah ibarat
bayangan benda dalam cermin; sedangkan liqa’ihi adalah benda yang
sebenarnya. Bagi para mu’min, ‘bayangan benda’ itu terlihat nyata
melalui aspek metode dan sistematika ilmu (Al-Quran), dan bendanya
terlihat nyata melalui aspek analitika dan obyektivita.
Sementara mereka yang kafir melakukan dua tindakan bodoh, yaitu
berusaha mengaburkan cermin (merusak metode dan sistematika ilmu), dan
menyingkirkan bendanya itu sendiri (membuat ilmu tak kenal analitika dan
obyektivita).
Ini juga merupakan ungkapan bagi kaum idealis, yang lebih menyukai
gagasan yang tidak ‘nyambung’ dengan kenyataan. Karena berkhayal adalah
kegemaran mereka.
b. Penertian khusus
Pengertian khusus dari syahadat, dalam konteks organisasi, adalah bay’ah (بيعة) atau bai’at, yaitu bai’at formal dalam konteks perekrutan (recruitment, pendaftaran) seseorang sebagai muslim.
Belum diketahui apakah bai’at formal itu dilakukan pada setiap
pengikut Nabi seorang demi seorang sejak Periode Makkah. Namun, dua
hadis di bawah ini mungkin merupakan isyarat bahwa hal itu memang
dilakukan, bahkan juga pada kaum wanita:
Hadis Ahmad dari Ibnu Amr r.a.:
كان رسول الله ص م لا يصافِح النّساءَ فى البيعة
Rasulullah saw tidak bersalaman dengan wanita dalam (upacara?) bai’at.
Hadis Bukhari-Muslim dari ‘Aisyah r.a.:
لا والله ما مسَّتْ يدُ رسولِ الله ص م يدَ امرأةٍ غيرَ أنّه بايعْهنّ بالكلام
Tidak, demi Allah, tangan Rasulullah tidak menyentuh tangan wanita. Beliau hanya membai’at mereka dengan perkataan.
Sekali lagi, harap diperhatikan, bila bai’at formal itu dilakukan,
hal itu dilakukan semata-mata dalam konteks penegakan Dinul Islam
sebagasi organisasi, sehingga bai’at itu menjadi sesuatu yang layak dan
wajar, dan tentu akan berdampak sugestif pada pembentukan kesetiaan,
persatuan, dan kesatuan tekad dalam perjuangan.
Hal itu terkesan, misalnya, melalui Bai’at Aqabah, yang boleh dikatakan mengawali terjadinya hijrah dan tegaknya negara Madinah.
Bai’at Aqabah
Sekitar setahun setelah Nabi dan para pengikutnya diboikot, tahun
617, di Yatsrib terjadi Perang Bu’ats, yaitu perang saudara antara suku
Aus dan Khazraj. Suatu hari, sebelum perang itu pecah, di Pekan Raya
Ukaz, Muhammad bertemu dengan Suwayd bin Shamit, anggota klan Amr bin
Auf yang terhormat dan pandai bersyair. Konon saat itu ia membawa
sebagian Perjanjian Baru berisi kata-kata Lukas yang disebutnya “Lembaran Luqman”.
Muhammad mengatakan bahwa ia mempunyai yang lebih baik, lalu ia
membacakam ayat-ayat Al-Quran. Meski tak langsung masuk Islam, Suwayd
mencatat ayat-ayat itu, lalu membacakannya lagi di Yatsrib. Akibatnya,
ia mati dibunuh orang Khazraj, yang pada waktu itu merupakan kelompok
yang unggul.
Konon Aus dan Khazraj berasal dari nama dua kakak beradik, yang
selanjutnya berkembang jadi dua suku yang besar. Entah karena apa,
keduanya kemudian saling bermusuhan, dan terus menerus berperang. Sampai
pada masa Muhammad, perang di antara mereka konon sudah berlangsung
selama 120 tahun, dan belum ada yang menang.
Berbagai penulis sejarah mengisyaratkan keterlibatan Yahudi di balik
permusuhan mereka. Barakat Ahmad menyebutkan bahwa sejarah awal Yahudi
tinggal di Jazirah Arab “terkubur dalam cerita yang kabur”. Tak ada
bukti sejarah yang bisa dipercaya untuk menaksir tahun kedatangan
mereka. Tayma’ memang dikenal para rasul dan bisa dikatakan sebagai kota
pertama di Arabia, yang di dalamnya tinggal masyarakat Yahudi zaman
Bibel kuno. Para pelaut Israel dan buronan Yahudi yang lolos dari
pembantaian Nebuchadnezzar dan kemudian Romawi, agaknya membangun tempat
tinggal di Jazirah Arab.
Di Arabia Selatan (Yaman) mereka tersebar dan hidup “tanpa ikatan
sosial atau politik”. Namun menjelang awal abad kelima, berkat semangat
industri dan wiraswasta, mereka mampu memapankan diri. Pengaruh mereka
atas suku-suku Arab Yaman demikian besar, sehingga salah satu raja
Himyar, Dzu Nuwas, memeluk agama Yahudi dan berganti nama menjadi Yusuf.
Max I. Dimont, juga sejumlah orientalis, bahkan menyebut Yahudi
sebagai pendiri Madinah dan menjadikan Makkah sebagai kota kosmopolitan.
Kata Dimont: Di sini, di tanah air baru mereka di Arabia, Yahudi
memperkenalkan seni pembuatan keramik, pengolahan emas, dan kurma, yang
bagi umat Muhammad nilanya sama dengan kentang bagi orang Irlandia. Di
sini mereka mendirikan Madinah. Di sini mereka membantu Quraisy mengubah
dusun-dusun mereka menjadi kota-kota. Dengan jumlah mereka yang banyak
(!) dan pengalaman selama 2.500 tahun, Yahudi membawa udara kosmopolitan
ke Makkah.
Sebagai tanda terima kasih karena diberi tempat tinggal, Yahudi
membantu Arab melawan tentara Kristen yang datang untuk mengkristenkan
dan merampok. Kristen terhambat masuk, tapi agama Yahudi merembes, bukan
dengan bantuan pedang, tapi lewat keteladanan baik mereka. … Bangsa
Arab menyebut Yahudi sebagai ahlul-kitab. Yahudi dan Arab hidup
bedampingan dengan damai.
Tentu saja Dimont cuma ngecap. Kenyataannya di mana-mana Yahudi
selalu menjadi dalang pertikaian. Dalam Perang Bu’ats, misalnya, Yahudi
Banu Nadhir dan Banu Qainuqa’ mendukung Khazraj dengan senjata dan
tentara. Sedangkan suku Aus dibantu oleh Yahudi Banu Quraizhah. Karena
kalah, Aus mencari bantuan dari Quraisy.
Yang diutus waktu itu adalah Iyas bin Mu’az dan Anas bin Rafi. Ketika
tiba di Makkah, mereka bertemu dengan Nabi dan Nabi pun menceramahi
mereka. Iyas tertarik dengan da’wah Nabi, tapi ia ditampar oleh
kawannya, yang mengingatkan tentang tujuan kedatangan mereka ke Makkah.
Tapi mereka pun gagal mendapatkan bantuan dari Quraisy, karena Quraisy
sendiri sedang pusing menghadapi kegiatan da’wah Nabi yang tak bisa
dihentikan. Mereka kembali ke Yatsrib dengan tangan hampa.
Tapi di sana perang sudah berkecamuk lagi, dan rupanya pihak mereka, suku Aus, kali ini sedang mendapat giliran unggul.
Pada kesempatan berikutnya, ada enam orang Yatsrib datang ke Makkah.
Konon mereka berasal dari suku Khazraj yang kena giliran kalah dalam
perang saudara itu. Apakah mereka mencari pula bantuan dari Quraisy?
Entahlah. Yang jelas, mereka pun bertemu dengan Muhammad.
Keenam orang itu adalah:
1. As’ad bin Zurarah (Abu Umمmah) dari Banu Najjar;
2. Rafi bin Malik dari Banu Zuraiq;
3. Auf bin Harits dari Banu An-Najjar;
4. Quthbah bin Amir dari Banu Salamah;
5. Uqbah bin Amir dari Banu Hiram;
6. Jabir bin Abdillah dari Banu Ubaid.
Mereka langsung masuk Islam dan kembali ke Yatsrib. “… Mereka masuk
keluar rumah menawarkan ajaran ini sampai tak ada rumah yang tidak
mengetahui adanya ajaran Muhammad. …”
Musim haji berikutnya, dua belas orang Yatsrib sengaja datang ke
Makkah untuk menemui Nabi.
Lima orang di antara mereka adalah anggota
dari rombongan enam orang tersebut. Keduabelas orang ini kemudian
dibawa Nabi ke kaki bukit ‘Aqabah, sebuah tempat yang terletak di
sebelah kiri jalan dari Makkah ke Mina. Di situlah terjadi Bai’at
‘Aqabah I.
Bunyi bai’at itu, menurut Munawar Chalil sebagai berikut:
1. Hendaklah kamu sekalian menyembah kepada Allah yang Maha Esa dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
2. Janganlah kamu mengambil hak orang lain dengan tidak ada izin (jangan mencuri).
3. Janganlah kamu mengerjakan perzinaan.
4. Janganlah kamu membunuh anak-anak
5. Janganlah kemu berdusta dan berbuat kedustaan. 6. Janganlah kamu menolak perkara yang baik.
7. Hendaklah kamu menurut (mengikuti) Pesuruh Allah, baik pada masa susah mau-pun pada masa senang.
8. Hendaklah kamu mengikut Pesuruh Allah, baik dengan paksa maupun tidak.
9. Janganlah kamu merebut sesuatu perkara dari ahlinya (yang
mengerjakannya); kecuali jika kamu melihat dengan nyata-nyata akan
kekafiran orang yang mengerjakan perkara itu, dengan tanda-tanda bukti
(keterangan) dari Allah yang menunjukkan kekafirannya.
10. Hendaklah kamu mengatakan kebenaran (haq) di mana saja kamu ada,
dan janganlah kamu takut atau kuatir dalam mengerjakan Agama Allah
(al-Islam) terhadap celaan orang.
Tahun berkutnya, yakni tahun ke-13 kenabian, lebih dari 500 orang
Yatsrib datang berhaji ke Makkah. Di antara mereka terdapat salah
seorang pemimpin Yatsrib yang terkenal, Abdullah bin Hiram. Yang
terpenting, di antara mereka itu terdapat 75 orang muslim, yang menemui
Nabi secara rahasia. Saat matahari terbenam, setelah menunaikan wuquf
di padang Arafah, mereka berjalan ke bukit ‘Aqabah, dan tiba di sana
pada tengah malam. Saat itulah terjadi Bai’at ‘Aqabah II.
Isinya sama dengan yang pertama. Namun, karena kedatangan mereka
sekali ini agaknya sekaligus mengundang Nabi untuk hijrah, maka pada
perjanjian yang pertama itu Nabi menambahkan kata-kata:
وأنْ تنصرونى إذا قدِمْتُ عليكم ما تَمْنعون أنفسَكم و أزواجَكم و أبناءَكم ولكم الجنّةَ
Kalian harus siap membantuku bila aku datang di tengah kalian
(dan kalian harus menjagaku) sebagaimana menjaga diri, istri, dan
anak-anak kalian. Dengan demikian kalian berhak mendapatkan Jannah.
Perkataan Nabi itu disambut Barra bin Ma’ruf, seorang pemuka Khazraj,
dengan mengangkat tangan Nabi dan berkata, “ Saya, ya Rasulullah! Demi
zat yang mengutusmu dengan al-haq, sungguh kami akan menjagamu
sebagaimana menjaga istri-istri kami, anak-anak kami, dan diri kami
sendiri. Kami bersumpah di hadapanmu sekarang ini: demi Allah! Kami
adalah keturunan para ahli perang. Karena itu kami mendapatkan pusaka
dari para orangtua kami. Maka kami tidak takut membela dirimu dari
orang-orang yang jelas memusuhimu.”
Kemudian seorang kepala Aus, Abul Haitam bin at-Taihan, menyela, “Ya
Rasulullah, di antara kami ada yang punya perjanjian dengan Yahudi.
Sekarang kami memutuskannya, karena kami telah berbai’at kepada anda.
Lalu bila nanti anda mengalahkan musuh-musuh anda, apakah anda tidak
akan meninggalkan kami untuk kembali ke negeri anda?”
Pertanyaan kritis itu disambut dengan senyum, lalu Nabi pun menegaskan:
بل! الدّمّ, الدّمّ! والهَدَم, الهدم! أنا منكم وأنتم منّى. أُحارِب مَن حربْتم وأُسالِم من سالَمْتم
Tidak! Darah diganti darah! Kematian ditebus kematian! Aku adalah
bagian dari kalian, dan kalian adalah bagian dari diriku. Akan kuperangi
orang yang memerangi kalian, dan kuajak damai orang yang berdamai
dengan kalian.
Demikianlah.
Bai’at ‘Aqabah II ini oleh para ahli sejarah disebut juga sebagai Bai’atul-’Aqabatil-Kubrâ (Perjanjian ‘Aqabah Terbesar). Inilah perjanjian yang mengawali hijrah Nabi Muhammad dan ummatnya dari Makkah ke Yatsrib.(a.h)