Mengungkap Gagasan Surat Al-Muzzammil Melalui Teori Sastra
1. Al-Muzzammil sebuah kisah
THE JAMBI TIMES - Al-Qurãn sebagai kitab bernilai sastra tinggi, sangat layak dikaji melalui teori sastra.
Dalam kajian ini kita menganggap surat Al-Muzzammil sebagai sebuah
kisah. Dengan catatan, kisah dalam surat ini bukan sebuah kisah khayalan
(fiksi), tapi kisah yang meng-ungkap kebenaran sejarah masa lampau,
yang mencakup masa Fir’aun dan Nabi Muhammad saw. Namun, selain
mengungkap kenyataan masa lampau, Al-Muzzammil juga ‘menyerempet’
kenyataan sekarang, dan membayangkan sesuatu yang bisa terjadi di masa
yang akan datang, yaitu berupa gambaran keadaan yang baik (ideal world) bagi yang mengikuti petunjuk Allah, dan gambaran keadaan yang buruk (worst-case scenario) bagi yang menolaknya.
Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa Al-Muzzammil menempati peran sangat penting (central),
karena memuat penjelasan ringkas namun padat tentang kaitan antara
kegiatan mengkaji Al-Qurãn dan “revolusi sosial-budaya” yang bisa timbul
sebagai dampaknya. Karena itu, surat ini layak disebut mewakili gagasan
inti Al-Qurãn itu sendiri, yang memang diturunkan untuk mengangkat
manusia dari keterpuruk-an akibat kesalahan memilih ajaran (konsep)
hidup.
1.1. Gaya monolog
Penyampaiannya dalam bentuk ‘kisah’ dengan gaya monolog (bercerita
seperti dalang) adalah bentuk seni sastra tersendiri (unik), yang
belakangan ditiru banyak penulis novel maupun cerpen. Dalam gaya
‘berkisah’ seperti ini, jarak antara penutur dengan pendengar dan atau
pembaca jadi terasa begitu dekat, karena dijadikan lawan bicara, yaitu
disapa dengan anta (anda; kamu) atau kadang antum (kalian). Uniknya,
Sang Pencerita kadang menempatkan diri sebagai orang pertama (Aku,
Kami), kadang sebagai orang ketiga (Dia).
Dengan gaya bertutur seperti itu, terasa seolah-oleh penutur ada di
sisi lawan bicara, lalu mengajaknya berjalan dari satu ke lain tempat,
melintas jarak dan menerobos lapisan-lapisan waktu, menyaksikan berbagai
peristiwa manusia dan alam semesta, sambil terus meluncurkan ‘obrolan’
yang memperkaya wawasan, mengungkap rahasia, dan menyentuh kesadaran. Di
situlah kita menemukan makna hakiki dari sebutan Allah sebagai rabb
(pembimbing).
Selain itu, berbagai kalimat (ayat) yang menyebut berbagai hal dengan
lancar, lincah, dan dengan pilihan kata (diksi) yang jitu, segera
menyadarkan kita betapa Sang Penutur ini memang mahatahu, dan mahapandai
pula beroleh seni sastra. Di sisi ini kita menangkap sebagian arti dari
‘julukan’ Allah sebagai latîf(un) khabîr(un).
1.2. Persamaan bunyi
Kepiawaian Allah dalam seni sastra juga tampak jelas melalui
persamaan bunyi (sajak) pada setiap akhir ayat Al-Qurān, yang
terus-menerus (konsisten) muncul dengan wajar dan jitu, tak ada kesan
dipaksakan. Ciri ini jelas memastikan gaya bahasa Al-Qurān yang puitis.
Ciri ini pula yang sempat menggoda kritikus sastra Indonesia, HB Yassin,
untuk membuat terjemahan Al-Qurān yang puitis. Sayangnya, ia sama
sekali tidak berhasil.
2. Unsur-unsur kisah
Para ahli sastra mengurai kisah menjadi unsur-unsur (1) tema, (2) alur, (3) tokoh, (4) lambang, dan (5) pesan.
Dalam konteks pengkajian Al-Qurãn, bisakah kita menerima teori ini?
Jawabannya tentu sangat tergantung pada kenyataan apakah teori ini
bisa mem-bantu kita untuk memahami Al-Qurãn atau tidak. Satu hal yang
pasti, walau hasil studi ini nanti mengundang perdebatan, ‘pembedahan’
surat Al-Muzzammil dengan teori penguraian kisah itu telah dilakukan dan
telah menghasilkan naskah ini.
3. Tema
Tema (theme) adalah gagasan utama (main idea) atau pokok bahasan (subject) dalam sebuah buku, puisi, film, dan sebagainya.
Sebuah kisah biasanya mengandung dua jenis tema, yaitu tema besar
yang merupakan gagasan utama atau ide dasarnya, dan tema-tema kecil,
yang merupakan pendukung atau penguat bagi tema besar dan penegas
keberadaan (eksistensi) para tokohnya.
Tema besar adalah ibarat gerobak yang mengangkut sejumlah tema kecil;
atau seperti ‘benang merah’ yang merangkai tema-tema kecil itu menjadi
sedemikian rupa. Dalam konteks (hubungan; kaitan) inilah kita memahami
istilah “lepas konteks”; yaitu terlepasnya satu atau beberapa tema kecil
dari ikatan tema besarnya. Di luar cakupan sebuah tema besar, tema-tema
kecil memang bersifat seperti barang tak bertuan, bisa diambil oleh
siapa saja.
Dengan kata lain, tema-tema kecil bisa dimasukkan ke dalam satu atau
banyak tema besar dalam saat yang bersamaan, seperti sejenis kancing
yang bisa digunakan untuk berbagai bentuk pakaian.
Karena itulah, dalam Al-Qurān pun sering kali kita temukan
kasus-kasus atau fragmen-fragmen (pecahan; penggalan kisah= tema-tema
kecil) tentang Adam, misalnya, masuk ke dalam (tema besar) surat
Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Al-Mã’idah, Al-A’raf, Al-Isrã, Maryam, Thãhã,
dan Yãsîn.
Di sini, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita memahami
sebuah tema kecil dalam ikatan tema besarnya, sehingga bila kita
mengutipnya, kutipan itu tidak menjadi “lepas konteks”.
Apa salahnya kalau kita mengutip lepas konteks?
Perhatikan, misalnya, apa yang sering dilakukan orang pada surat
Al-Baqarah ayat 256: لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ
الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ
لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Bagian yang sering dikutip orang adalah
kata-kata lã ikrãha fî-ddîn(i), yang mereka artikan “tak ada
paksaan dalam agama”, dengan penjelasan (tafsir) bahwa manusia tidak
dipaksa untuk memeluk agama Islam, dan karena itu orang Islam juga tidak
boleh memaksa orang lain untuk masuk Islam. Padahal, bila diperhatikan
konteksnya, ayat ini mengandung sindiran yang sangat tajam bagi siapa
pun yang mengabaikan kebenaran Dînul-Islãm, yang di situ disebut ar-rusydu (lurus; benar) dan terus ngotot (kukuh) membela al-ghayyu
(bengkok; salah), pada saat perbedaan keduanya sudah dijelaskan
segamblang-gamblangnya, dalam ayat-ayat sebelumnya. (Ingat nomor
ayatnya: 256).
Hal yang sama juga sering dilakukan pada sebuah hadis Al-Bukhari; yang hanya dipenggal sebagian yang bicara tentang niat (al-a’mãlu bi-niyyati)
dan dikaitkan dengan segala macam niat, yang kadang tidak ‘nyambung’.
Padahal, hadis ini bicara tentang tiga motivasi hijrah (pada masa itu),
yang bila tafsirnya diperluas maka hadis ini menegaskan klasifikasi
kecenderungan manusia secara umum, yaitu untuk hidup berdasar ajaran
Allah dengan pola rasulNya, atau hanya memburu dunia (materi), atau
mengumbar nafsu birahi. عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا
هَاجَرَ إِلَيْهِ
Lebih jauh, bila dikaitkan dengan Yahudi, kebiasaan main kutip secara
lepas konteks itu, secara lambat atau cepat, akan membuat kitab Allah
berubah wujud menjadi timbunan kertas (kitab-kitab) yang berserakan,
yang fungsinya tidak lain kecuali menimbulkan kekacauan berpikir,
sehingga lepas dari kendali nilai ilmiah, dan akhirnya kaburlah batas
antara sunnah (jalan hidup) rasul dan sunnah setan!
3.1. Tema besar surat Al-Muz-zammil
Tema besar surat Al-Muzzammil adalah keharusan bangun malam untuk
mengkaji Al-Qurān secara bertahap dan berdisiplin sebagai persiapan
untuk memperbaiki kehidupan. Hal ini terungkap melalui ayat 1-4, dan
dipertegas melalui ayat 20. Sedangkan tema kecilnya berderet mulai dari
ayat 1 sampai 20. Uraiannya adalah sebagai berikut.
3.2. Al-Muzzammil sebagai sebuah ungkapan
Tema kecil pertama dalam surat ini tentu saja “Al-Muzzammil” itu
sendiri, yang menjadi judul surat, tokoh utama, dan sekaligus merupakan adatu-tasybîh (alat perumpamaan) bagi siapa pun yang ingin menerobos kepungan –azh-zhulumãt (“kebodohan” dengan segala bentuknya), untuk mendapatkan an-nûr, yakni petunjuk Allah (Al-Qurãn). Sebagai sebuah perumpamaan, al-muzzammil
(orang yang berselimut) adalah ungkapan yang jitu untuk menyebut siapa
pun yang terlena dalam kejahilan. Mereka ibarat orang-orang yang tidur
dalam bungkusan selimut hangat, yang menambah tidur mereka semakin
lelap, sehingga tidak menyadari apa pun yang sedang terjadi dalam
dirinya, lebih-lebih lagi dunia luar.
Bila kita buka kamus, an-nã`im (النائم) orang yang tidur, memang sama dengan al-ghãfil (الغافل), orang yang lengah, lalai, dungu, bahkan bisa juga berarti mati (مات).
Maka semakin jelaslah bagi kita bahwa Al-Qurān diturunkan memang
untuk membangkitkan si Muzzammil itu. Dan bila ada orang yang bersikukuh
mengatakan bahwa surat Al-Muzzammil ini diturunkan khusus hanya kepada
Nabi muhammad, maka seharusnya mereka juga ingat bahwa Nabi Muhammad pun
– sebelum menerima Al-Qurān – adalah sesat atau bingung.
3.3. Al-Qurãn sebagai qaulan tsaqîlan
Istilah qaulan tsaqîlan (ayat 5) sering diartikan orang
sebagai “perkataan yang berat”. Seorang da’i terkenal, menafsirkannya
dengan mengatakan bahwa dengan sering bangun malam untuk bertahajud,
Allah akan menganugerahi kita “suara yang berat”, dalam arti berwibawa,
sehingga setiap perkataan kita akan didengar (diperhatikan) orang!
Sebuah tafsir yang tentu ngawur.
Istilah qaulan tsaqîlan di sini tentu berkaitan dengan isi Al-Qurān secara keseluruhan. Tegasnya, qaulan (= kalãm; firman) adalah sebutan lain bagi Al-Qurān yang diajarkan dalam bentuk perkataan, dan tsaqîlan adalan sifatnya, atau nilainya. Harfiah, tsaqîl(un) berarti “berat”, yaitu kebalikan dari khafîf(un) yang berarti “ringan”.
Bila bentuk katanya dilihat dari teori ilmu sharaf, tsaqîl adalah
sifat musyabahah/mubalaghah (berpola فعيل), yang penerjemahannya ke
dalam bahasa Indonesia harus memakai tambahan maha, amat atau sangat,
atau malah yang dua belakangan digabung, menjadi amat sangat …
Tapi harap diingat bahwa Al-Qurān bukan sebuah benda padat. Ia adalah
sebuah gagasan atau konsep, atau ilmu, yang sekarang ‘kebetulan’ kita
temukan tertulis dalam bentuk buku. Dengan demikian, yang disebut “amat
berat” di sini tentu bukan bukunya, tapi nilai ilmunya. Jelasnya, qaulan
tsaqîlan adalah istilah yang digunakan Allah untuk menandai
keistimewaan Al-Qurān, yaitu sebagai sebuah konsep yang amat sangat
berbobot, amat sangat bernilai ilmiah, bukan sebuah dongeng hampa makna.
3.4. Jalur malam dan siang
Ayat 6 dan 7 menyiratkan semacam undang-undang yang membagi hari
menjadi dua ‘jalur’, yaitu (1) jalur malam untuk melakukan studi
Al-Qurān, dan (2) jalur siang untuk (a) mencari makan, (b) menjaga
kelangsungan studi, dan (c) menghimpun dana bagi pengembangan da’wah.
Kedua jalur itu adalah sarana untuk (1) mencapai tujuan antara (=
tujuan awal) yaitu terbentuknya “kesadaran berdasar ilmu Allah”, seperti
diisyaratkan melalui ayat 8; dan (2) tercapainya tujuan akhir, yakni istighfãr (yaitu revolusi atau perombakan kehidupan, dari kehidupan zhulumãt menjadi kehidupan nûr), seperti tersirat dari ayat 20.
Bila pembagian jalur ini diabaikan, maka pengkajian dan pengamalan Al-Qurān tidak akan sesuai dengan sunnah (pola; prosedur) rasul; sehingga hasilnya pun tentu tidak akan sesuai dengan hasil yang pernah dicapai Rasulullah saw.
3.5. Al-Qurãn sebagai wakîl
Ayat 9 berisi tema kecil tentang peran Allah sebai rabb
(pengendali) alam semesta, yang menganjurkan agar manusia menjadikanNya
sebagai satu-satunya wakîl (andalan). Tentu yang harus dijadikan wakîl
di sini adalah ajaranNya (Al-Qurān), bukan (hanya) diri Allah itu
sendiri.
Al-Qurãnlah yang harus diandalkan secara langsung dalam
kehidupan nyata. Orang yang mengandalkan Allah tapi mengabaikan Al-Qurān
adalah sama dengan menghina Allah; yaitu seperti menganggap Allah
sebagai pelayan. Dia meminta Allah melindunginya, meminta ini dan itu,
tapi dia tak mau mematuhi peraturanNya. Menjadikan Al-Qurān sebagai
andalan berarti memperlakukan Al-Qurān sebagai “imam” alias pemandu
kehidupan, yaitu menjadikannya petunjuk dan pedoman dalam segala macam
kesibukan.
3.6. Sabar sebagai soko guru
Ayat 10 sampai 14 menegaskan perlunya menjadikan shabr (sabar) sebagai soko guru (tiang utama) dalam perjuangan menegakkan harapan (cita-cita).
Sabar di sini, pertama, bisa berarti luwes dalam menghadapi tantangan
dari lingkungan, ketika kita mencoba menerapkan konsep surat
Al-Muzzammil ini (ayat 10). Kemudian, kedua, sabar juga berarti tidak
usil atau gatal mulut maupun tangan terhadap para ‘penguasa’ segala
fasilitas kehidupan (ayat 11). Mengapa? Ayat 12-14 menegaskan bahwa
mereka sebenarnya sedang melaju ke jurang kehancuran.
3.7. Al-Qur’an turun sebagai perulangan
Ayat 15 menegaskan bahwa Al-Qurān turun sebagai perulangan dari
kitab-kitab terdahulu, dan dengan demikian Nabi Muhammad pun adalah
seorang rasul dalam deretan rasul-rasul Allah, seperti halnya Musa (dan
lain-lain), yang pasti menghadapi musuh besar semacam Fir’aun; dan
begitu juga – tentu – para pengikut Muhammad. Pendeknya, ayat ini
menegaskan bahwa sejarah memang berulang, beredar membentuk suatu siklus
(lingkaran) kehidupan, berdasar ‘skenario-skenario’ tertentu. Allah,
dengan ajaran yang disampaikan melalui rasulnya, pada dasarnya,
menawarkan suatu skenario (‘aturan main’) untuk diperankan oleh manusia,
sebagai alternatif (pengganti) bagi skenario-skenario buatan mereka
sendiri, yang tidak pernah mampu mewujudkan keadilan dan perbaikan
hidup, bahkan sebaliknya segala yang mereka lakukan hanyalah ibarat
orang-orang haus yang memburu fatamorgana.
3.8. Mu’min harus “sadar sejarah”
Ayat 16-19 menekankan agar manusia (terutama mu’min) memiliki
“kesadaran sejarah” khususnya yang berkenaan dengan keberuntungan dan
kemalangan nasibnya sebagai akibat reaksi positif (menerima) atau
negatif (menolak) mereka atas wahyu Allah.
Kesadaran sejarah dapat dipetakan secara ringkas sebagai berikut.
Pertama, manusia harus menyadari bahwa setiap peradaban berawal dari
sebuah konsep, yang ditawarkan seseorang pada suatu masa, di suatu
tempat. Selanjutnya, konsep itu tumbuh menjadi sarana penghimpun
segolongan manusia, dan bila mereka bisa tampil sebagai penguasa, maka
konsep itu tumbuh menjadi sebuah sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Itulah yang selama ini biasa kita sebut sebagai kebudayaan (culture) dan atau peradaban (civilization).
Kedua, sebuah konsep (yang tumbuh menjadi kebudayaan/ peradaban) bisa bertahan lama bila sanggup menghadapi segala tantangan.
Ketiga, para rasul diutus untuk menawarkan konsep Allah, dan rupanya mereka selalu berhasil menjadi pemenang.
Keempat, para pengkaji Al-Qurān seharusnya menyadari bahwa Al-Qurān
adalah sebuah konsep yang unggul, dan mereka sendiri seharusnya menjadi
tokoh-tokoh yang turut mengusung keunggulan Al-Qurān itu. Jelasnya,
mereka harus siap menjadi tatakan, pijakan, tangga, jembatan, atau apa
pun yang berperan memunculkan keunggulan Al-Qurān. Ingat semboyan “isy
karîman aw mut syãhidan”. Hidup mulialah bersama Al-Qurān, atau mati
sebagai pembelanya!
3.9. Mengkaji Al-Qurān harus ikut prosedur
Ayat terakhir (20) menegaskan kembali perintah bangun malam untuk
mengkaji Al-Qurān, seperti yang tersebut pada ayat-ayat awal (1-4). Di
sini semakin dipertegas bahwa waktu malam adalah sebuah sarana dan
bangun malam adalah sebuah prosedur yang tidak bisa ditawar, bila
manusia benar-benar ingin menjadikan Al-Qurān sebagai “andalan” untuk
memperbaiki kehidupan.
Ditegaskan pula bahwa pilihan waktu-waktunya
adalah setengah, sepertiga, atau duapertiga malam.
Diingatkan pula di
sini bahwa pengkajian Al-Qurãn itu dilakukan secara bersama-sama di
bawah pimpinan Rasulullah. Dan, rupanya kegiatan mengkaji Al-Qurãn itu
tidak harus dilakukan oleh seluruh pengikut beliau, tapi hanya oleh satu
thã’ifah (kelompok). Sementara bagian umat yang lainnya
mendapat tugas khusus dan tak kalah penting untuk masa depan da’wah,
yaitu menekuni bidang ekonomi dan kemiliteran.
4. Alur
Setiap kisah mempunyai alur atau “jalan cerita”, dan yang disebut
jalan cerita ini adalah hubungan satu peristiwa dengan
peristiwa-peristiwa yang lain dalam keseluruhan cerita, yang berlangsung
dalam waktu-waktu tertentu.
Peristiwa-peristiwa itu berhubungan satu sama lain, seperti mata
rantai, dalam jalinan hubungan sebab-akibat secara langsung maupun tidak
langsung – dalam kaitan-kaitan sistematis maupun logis, sampai cerita
berakhir.
Dalam surat Al-Muzzammil, alurnya bisa kita telusuri mulai dari tokoh
si Muzzammil sendiri. Peristiwa pertama, dia disuruh bangun malam untuk
mengkaji Al-Qurãn. Peristiwa kedua, dia harus mengatur waktu
belajarnya, apakah setengah malam, atau kurang dari setengah, atau lebih
dari setengah (ayat 1-4 dan 20).
Ingat, satu peristiwa punya hubungan sebab-akibat dengan
peristiwa-peristiwa yang lain. Peristiwa bangun malam, misalnya, punya
hubungan sebab-akibat dengan keadaan malam itu sendiri. Sebab bangun
malam untuk mengkaji Al-Qurãn, maka kita bertemu dengan keadaan malam
yang mendukung kegiatan belajar Al-Qurãn. Akibatnya (hasilnya), Al-Qurãn
pun menjadi lebih mudah masuk ke dalam otak. Semakin sering hal itu
dilakukan, semakin banyak isi Al-Qurãn yang diketahui. Sebab mengetahui
banyak isi Al-Qurãn, maka perlahan tapi pasti (akibatnya) pandangan dan
sikap hidup kita pun berubah, semakin lama semakin ingin menyesuaikan
diri dengan Al-Qurãn.
Selanjutnya, perubahan kita adalah suatu sebab yang pasti menimbulkan
reaksi orang lain sebagai akibatnya! Dan reaksi orang lain adalah satu
sebab yang pasti berakibat pula kepada kita. Begitu seterusnya,
peristiwa-peristiwa saling berjalin dalam hubungan sebab-akibat. Namun
yang perlu diperhatikan di sini adalah hubungan sebab-akibat antara
Al-Qurãn dan orang yang mempelajarinya.
Al-Qurãn adalah suatu sebab yang bisa mendatangkan akibat-akibat
berantai bagi orang yang mempelajarinya, juga bagi lingkungan orang itu
sendiri. Dan akibat-akibat itu bisa muncul dalam bentuk reaksi-reaksi
lingkungan yang tidak diharapkan, sehingga menimbulkan
bentrokan-bentrokan, kecil maupun besar. Hal inilah yang amat sangat
perlu diperhatikan oleh para pengkaji Al-Qurãn, supaya kegiatan mengaji
itu tidak menjadi sia-sia, atau malah mendatangkan bencana bagi diri
sendiri mapun lingkungan.
‘Bencana’ itu, bila kita mengacu pada surat Al-Muddattsîr, misalnya,
adalah karena pengkajian Al-Qurãn itu bisa menyebabkan kita jadi “banyak
berkhayal” (تمنن تستكثير). Tegasnya, konsep-konsep revolusioner
Al-Qurãn bisa kita campur-aduk dengan pemikiran-pemikiran subyektif,
sehingga yang muncul dominan pada akhirnya adalah pemikiran-pemikiran
subyektif itu.
Lantas, apa gerangan yang bisa mencegah dominasi subyektif itu?
Sunnah Rasul!
Sunah Rasul adalah pola, adalah prosedur, adalah taktik dan strategi
yang tidak boleh diabaikan, supaya studi Al-Qurãn tidak malah
menimbulkan bencana bagi diri dan lingkungan. Melalui sunnah rasul, kita
(seharusnya) dapat mengetahui tahapan-tahapan yang harus dilalui, dan
target-target yang tersusun berdasar skala prioritas.
5. Tokoh
Tokoh dalam surat ini bisa diurai secara berturut-turut mulai dari
Allah sebagai pemilik gagasan, malaikat (Jibril) sebagai penyampai wahyu
kepada Nabi Muhammad, lalu Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu yang
sekaligus berperan sebagai uswah hasanah. Tokoh berikutnya adalah mereka
yang diisyaratkan melalui kata ganti antum (ayat 15 dan 20);
yakni para pengikut Nabi Muhammad. Selain mereka, ada Musa dan Fir’aun
yang keduanya mewakili tokoh-tokoh masa lampau; dengan catatan bahwa
Musa mewakili tokoh utama yang baik, dan Fir’aun mewakili tokoh utama
yang jahat.
6. Perlambangan
Perlambangan atau simbolisme adalah salah satu unsur penting dalam
karya sastra, terutama bila berbentuk cerita. Lambang-lambang sengaja
dibuat atau dimunculkan sebagai sarana pengangkut makna-makna atau
pesan-pesan tertentu. Dengan kata lain, di balik lambang-lambang itulah
biasanya para pembuat cerita menyimpan “pesan-pesan” mereka.
Lambang-lambang dalam sebuah kisah bisa muncul dalam berbagai bentuk.
Ada kalanya berupa benda-benda atau kata-kata tertentu yang bermakna
kiasan, sebagai bentuk-bentuk tasybih (ungkapan; perumpamaan)
yang kadang mempertajam, menghaluskan, atau bahkan menyamarkan gagasan.
Lambang-lambang itu biasanya hanya bisa terbaca oleh para pembaca yang
cerdas dan terlatih. Dalam kajian sastra, pembaca demikian itu biasa
tampil sebagai kritikus atau pengamat sastra. Dalam konteks Al-Qurãn,
yang tergolong demikian itu tentu (seharusnya!) adalah para ahli tafsir.
Sayangnya, mereka yang dikenal sebagai ahli tafsir justru kebanyakan
tidak peka terhadap simbolisme Al-Qurãn, sehingga banyak pesan Al-Qurãn
akhirnya tinggal lestari dalam pelukan kegelapan. Terkubur di lubang
ketidaktahuan.
6.1. Al-Muzzammil, lambang kebodohan
Ditinjau dari teori perlambangan ini, al-muzzammil itu
sendiri (seperti sudah disinggung di atas) adalah sebuah lambang. Yaitu
lambang dari seseorang dan atau satu umat (bangsa) yang terlena dalam
kebodohan. Mereka hidup dalam berbagai bentuk kesulitan tapi tidak mau
berontak, malah membenamkan diri dalam selimut.
Hal itu mereka lakukan mungkin karena memang mereka tak tahu harus
berbuat apa. Karena itulah Allah mengajarkan apa yang tak terjangkau
oleh pemikiran mereka (‘allamal-insãna mã lam ya’lam; Al-‘Alaq ayat 5), yaitu Al-Qurãn, sebagai bekal untuk mengubah nasib.
Coba perhatikan satu hal ini! Mengapa dalam surat ini Allah
menyebutkan tokoh Musa? Satu segi, hal itu tentu dimaksudkan agar para
pengikut Nabi Muhammad mengingat nasib bangsa Yahudi (Isra’il) ketika
mereka masih menjadi budak di Mesir. Bila tidak karena Allah mengutus
Nabi Musa dengan membawa kitab Taurat, niscaya mereka menjadi budak
selama-lamanya!
Jadi, mereka yang disebut sebagai al-muzzammil di masa Nabi Muhammad
diingatkan untuk bercermin pada bangsa Yahudi ketika menjadi budak.
Mereka ditolong Allah dengan mengutus seorang rasul yang membawa kitab
(Taurat)! Begitu juga bangsa Arab, dan kita semua yang mengaku umat Nabi
Muhammad. Kita ditolong Allah dengan mengutus seorang rasul yang
membawa kitab (Al-Qurãn). Tapi pertolongan Allah itu akan menjadi
sia-sia jika kitab itu tidak dipelajari dan diamalkan sesuai dengan
petunjukNya.
6.2. Belenggu dan makanan berduri
Ayat 12-13 menyebut tentang “belenggu” (borgol) dan ”makanan berduri”
yang disediakan Allah bagi para penguasa fasilitas kehidupan yang
kafir. Kita selalu membayangkan bahwa itu semua adalah siksaan (azab)
yang akan mereka terima di alam akhirat nanti. Padahal, bila kita ingat
sunnatullah berupa hukum sebab-akibat yang disebutkan di atas, maka
jelaslah bahwa setiap pilihan hidup pasti tidak bisa dilepaskan dari
akibatnya. Dan pilihan untuk menjadi kafir adalah sama dengan
membelenggu diri dengan segala akibat kekafiran itu. Dengan kata lain,
bila mereka sadar, pilihan untuk menjadi kafir adalah ibarat memakan
makanan berduri, yang begitu dimakan lantas mengganjal di tenggorokan,
tak bisa ditelan dan tak bisa dikeluarkan.
Dalam simbolisme bangsa Indonesia, buah berduri ini adalah “buah si
malakama”, yang bila dimakan matilah ayah, dan bila tidak dimakan
matilah bunda. Itulah gambaran penderitaan mereka. Gambaran kehidupan
yang serba salah. Dengan kata lain, kekafiran itu menjebak manusia dalam
keterlanjuran yang menyakitkan. Seperti orang yang terjebak dalam
perjudian; berhenti salah (karena sudah kalah banyak dan ingin menebus
kekalahan itu), melanjutkan juga salah (karena kemenangan yang
diharapkan hanyalah spekulasi).
6.3. Bumi dan gunung
Bumi dan gunung-gunung dalam ayat 14, juga bukan bumi dan
gunung-gunung dalam arti harfiah. Karena bila berarti harfiah dan
dianggap sebagai gambaran situasi dan kodisi ketika “dunia kiamat”, maka
hal itu baru akan terjadi entah kapan. Hal itu, misalnya, tidak bisa
dikaitkan dengan orang-orang yang hidup di zaman Musa dan juga Muhammad,
bahkan juga dengan kita sekarang.
Dalam pemikiran (ilmiah?) kita semua, kehancuran dunia adalah sesuatu
yang mungkin baru terjadi entah berapa ratus atau ribu tahun kemudian!
Jadi, bila kabar tentang kehancuran alam itu dijadikan alat untuk
‘menakut-nakuti’, maka hal itu sama sekali tidak membuat kita takut.
Memang bukan itu yang dimaksud. Ayat ini tidak bicara tentang peristiwa
alam benda, tapi peristiwa sosial-budaya. Hal yang dimaksud di sini
adalah kejadian-kejadian yang berkaitan langsung dengan pilihan untuk
menjadi kafir tersebut. Jelasnya, kebanyakan manusia menolak ajaran
Allah karena tidak mau meninggalkan ajaran lain, yang sudah terlanjur
menjadi sebuah sistem, dan di situ mereka sudah terlanjur hidup enak
sebagai “gunung-gunung” alias para pemuka masyarakat.
Bila gunung-gunung adalah lambang (perumpamaan) dari para pemimpin,
maka tentu saja bumi adalah lambang bagi para bawahan serta rakyat
jelata. Sistem zhulumãt adalah sistem yang selalu menguntungkan mereka
“yang di atas” (gunung: para penguasa; pemimpin) dan menyengsarakan
“yang di bawah” (bumi: rakyat). Karena itu, pada saat tertentu,
terjadilah “krisis” yang menyebabkan kegoncangan, dan kedua pihak pun
lantas saling tuding. Menariknya, kedua hal itu (bergoncang dan saling
tuding) dalam ayat 14 ini diwakili oleh satu kata: tarjufu.
Bila sudah terjadi “krisis”, peristiwa demi peristiwa akan terjadi
secara susul-menyusul, beruntun, dalam kecepatan waktu yang sulit
diramalkan. Ketika terjadi “krisis moneter” di negeri kita (tahun 1997),
misalnya, dalam waktu singkat krisis moneter itu sudah berkembang
menjadi “krisis multi dimensi”. Dan, pada saat itu – konon – Soeharto
pun tidak akan meletakan jabatannya bila Nurcholis Madjid tidak
mengingatkan bahwa “peristiwa-peristiwa bergerak dalam hitungan detik”.
Di sini kita melihat cerdiknya Soeharto dalam memahami informasi,
sehingga dia bisa memilih jalan yang ‘aman’ untuk dirinya. Sayangnya,
dia tidak cukup cerdik untuk memahami informasi Allah (Al-Qurān).
6.4. Bayi menjadi tua renta
Ayat 15-16 menegaskan kerasulan Muhammad sebagai perulangan dari kerasulan Musa.
Kerajaan Fir’aun hancur karena menentang risalah Musa. Ayat 17
muncul dengan perumpamaan yang sangat indah tentang kepastian hancurnya
sistem yang dibangun Fir’aun dan para kroninya.
Sistem tersebut digambarkan Allah seperti halnya bayi yang pada
akhirnya harus menjadi manusia tua renta (dan akhirnya tentu mati).
Bayi di sini adalah perumpamaan yang diharapkan mengingatkan kita pada
proses sejarah peradaban, yang dalam tinjauan biologis berawal dari
sebuah benih, yang kemudian lahir menjadi bayi, yang terus tumbuh dan
berkembang melalui tahap demi tahap, sampai akhirnya menemui ajalnya
(إلى أجل مسمّى).
Benih sebuah sistem adalah konsep, yang kemudian lahir menjadi sebuah
komunitas kecil, menjadi organisasi politik, dan seterusnya menjelma
menjadi sebuah sistem kekuasaan, yang di Indonesia dikenal dengan
sebutan “orde” (orde lama, orde baru, orde reformasi). Sehebat apa pun
sebuah bangunan kekuasaan, pada akhirnya pasti menemui ajalnya juga. Tak
ada yang kekal, kecuali Allah dengan segala kekuasaannya.
Perhatikan baik-baik awal ayat 17 yang sangat menarik ini: “Bagaimanakah
kalian bisa menyelamatkan diri, bila kalian mengingkari datangnya
pergiliran waktu (yaum; sejarah), yang mengubah (perlahan tapi pasti)
bayi menjadi tua renta?”
Pertanyaan itu tentu ditujukan kepada para pengkaji Al-Qurãn. Silakan
saja kalian berleha-leha, tapi sunnatullah bekerja tanpa jeda. Bila
kalian tidak bersungguh-sungguh mengkaji dan mengikuti ajaran Allah,
rasakan akibatnya. Bila sistem yang sudah tua renta itu ambruk, maka
kalian pasti tertimbun di bawah runtuhannya! Tak ada beda antara nasib
si tukang khayal (“pelamun ulung”) dengan para pendukung Fir’aunisme!
6.5. Janji Allah pasti terwujud
Ayat 18 mengajukan as-samã’ (yang selalu dipahami sebagai
langit) sebagai lambang sistem kekuasaan politik. Ungkapan ini
seharusnya mengingatkan kita pada istilah “langit tujuh lapis”, yang
melambangkan tingkatan (hierarki) kekuasaan dalam setiap sistem politik.
Di sana setiap kelompok penguasa menempati kelas demi kelas secara
berlapis-lapis dari bawah ke atas. Semakin ke atas, semakin elit,
ekslusif, terhormat, dan berkuasa. Tapi lapisan (yang tertata seperti
sebuah piramida) itu bukanlah sebuah bangunan permanen yang kokoh.
Bangunan hakiki (fisik) bisa tua, rapuh dan akhir-nya runtuh. Begitu
juga halnya sistem politik; yang bisa ambruk karena akhirnya terjadi
kebobrokan di dalamnya. Itulah janji Allah. Itulah sunnatullah, yang
pasti terwujud, baik pada alam benda maupun pada kehidupan sosial-budaya
manusia.
7. Pesan
Pesan dalam karya sastra biasanya tidak disampaikan secara verbal
(dalam bentuk perkataan langsung), tapi lebih sering dalam bentuk
sindiran, perumpamaan, dan lambang-lambang. Sering dikatakan, karya
sastra yang baik tidak bersifat menggurui, tapi merangsang pembacanya
berpikir. Kita bisa belajar banyak tentang hal ini melalui Al-Qurãn.
Pesan dalam Al-Qurān kadang muncul berupa perintah dan larangan secara
langsung, mengingatkan bahwa manusia tidak selalu harus bebas menentukan
pilihan sendiri. Pesan-pesan tak langsung sering diberikan untuk
mengajak manusia menyadari bahwa mematuhi ajaran Allah adalah sebuah
kewajaran belaka. Sesuatu yang seharusnya dianggap sebagai hal yang
alami.
Tidak ada pilihan yang benar kecuali mematuhi Allah. Itulah pesan inti Al-Muzzammil, dan itulah pesan inti Al-Qurãn.
Pilihan-pilihan lain memang terhidang juga; tapi dengan risiko-risiko yang menyakitkan. ▲
===============================================================
Bangun Malam Kebiasaan Orang-orang Saleh
Dalam kitab Sunan At-Tirmidzi ada sebuah hadis bersumber dari Bilal,
yang menurutnya Rasulullah saw pernah mengatakan, “Bangunlah pada malam
hari (untuk mengkaji Al-Qurãn dan shalat), karena hal itu adalah
kebiasaan orang-orang saleh zaman dulu. Sesungguhnya bangun malam itu
mendekatkan kalian kepada Allah, mencegah perbuatan dosa, menutup
keburukan, dan menyingkirkan penyakit dari badan.”
Menurut Abu ‘Isã, hadits ini gharib (asing; tidak diketahui banyak
orang). Kemudian ia mengajukan hadits yang bersumber dari Abi Umamah,
yang katanya lebih shahih daripada yang berasal dari Bilal, yang
bunyinya sama, tapi tidak menyertakan kata-kata “… menyingkirkan
penyakit dari badan (وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ).”
Lengkapnya hadits Bilal itu sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خُنَيْسٍ عَنْ مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيِّ عَنْ
رَبِيعَةَ بِنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ عَنْ بِلَالٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ
وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنْ
الْإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ
الْجَسَدِ.
(a.h)