News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Hukum Upah Dalam Berdakwah

Hukum Upah Dalam Berdakwah


                                                                                         
THE JAMBI TIMES - Menyimak firman Allah dalam Qs. Albayyinah : 5, yang terjemahnya :


“Dan tidaklah aku diperintah kecuali untuk selalu/selama-lamanya (didunia) mengabdi kepada Allah secara ikhlas dan hanif, dan menegakkan sholat menunaikan zakat dan demikianlah itu addien yang lurus”.
Mustahil suatu amal ibadah seorang hamba Allah diterimaNya apabila tidak menepati dua syarat pokok pengabdian, yaitu ikhlas (tulus niat) karena Allah dan hanif / hunafa’ (tunduk patuh) kepada koridor perintah, larangan, dan petunjuk dari Allah. Sebagaimana yang telah ditetapkanNya dalam Qs. Albayyinah : 5, diatas.
Dakwah kepada pengamalan Islam adalah suatu bentuk ibadah/pengabdian yang merupakan tugas khusus dari al Khaliq kepada segolongan ummat (‘ulama, da’i) dengan syarat mereka harus ittiba’ Rasulullah dan mengamalkan atau mencontohkan terlebih dahulu terhadap apa yang akan ia serukan kepada ummat manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskanNya dalam Qs. Ali Imran : 104 :

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang bertugas mengajak kepada kebaikan, dan menteladankan dengan perbuatan ma’ruf dan mencegah dari hal-hal munkar, dan mereka itulah golongan orang yang mendapatkan kemenangan”.

Jika tujuan akhir aktivitas ibadah kita adalah hanya semata-mata mengharapkan wajah/redha dari Allah maka, niat yang ikhlas dalam hati dan wujud amaliah yang hanif, yakni mencontoh kepada RasulNya adalah syarat mutlaq.

“Katakanlah jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Rasulallah Muhammad SAW). Pasti Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosa kamu, dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (Qs. Ali Imran : 31).

Bolehkah Menerima Upah Setelah Berdakwah ?

Menyimak keterangan Allah dalam beberapa ayat Alqur-an, antara lain :
“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) secara terang-terangan” (Qs. Yasin : 17).

“Ikutilah orang-orang yang tiada meminta balasan (upah) kepadamu ; dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs. Yasin : 21).

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman atas (potensi) diri dan harta mereka dengan (bayaran) al jannah (syurga). Mereka itu melaksanakan qital (wujud rumusan menejemen Islam) di jalan Allah, maka mereka unggul atau diungguli. (Qs. Attaubah :111).

Penjelasan:

Rasulullah dan tentu para pemegang amanah para Rasul yang sejati, yaitu qoum Ulama dan para Du’at, da’i dalam berdakwah memiliki beberapa prinsip pokok :

1. Dakwah kepada jalan Allah disadarinya sebagai perintah suci dariNya yang wajib disampaikan dan haram disembunyikan hanya karena perasaan takut menyinggung hati orang yang mendengar.

Segala muatan dakwah : perintah, larangan, dan petunjuk disampaikannya secara terus terang, blak-blakan tanpa takut dibenci orang membenci, dicaci, bahkan terhadap rencana jahat qoum kafir untuk memenjarakan, membunuh, atau mengusirnya (persona non grata) (Qs. Al anfal :26).

Karena mereka yaqin akan kekuasaan Allah, dan mereka tiada ingin mengemis cinta kepada manusia dan tiada pula mengharap dibenci oleh manusia. Akhir kehidupan yang baik hanya bagi orang-orang yang bertaqwa.

2. Berdakwah dan berjihad di jalan Allah hakikatnya adalah bentuk transaksi hamba kepada al Khaliq. Allah yang akan memberi upah berupa jannah dan ampunanNya, dan tiada haq sedikitpun dari manusia untuk memberi atau menerima upah atas kerja dakwah dan jihad tersebut. Meskipun dengan alasan kemanusiaan, karena orang yang beriman berprinsip : hati, daya fikir (logika) dan perasaan wajib tunduk kepada aturan dari Allah, bukan tunduk kepada nafsu.

3. Wajib bagi kita untuk mengikuti dan membela para pemegang amanah para Rasulullah tersebut yaitu Ulama shohih dan para da’i, siapapun dan darimanapun hamba Allah tersebut diunculkan Allah. Secara mukhalafah, pengertian sebaliknya adalah haram mengikuti para ulama su’ dan da’i / penyeru palsu yang mengkhianati amanah Allah dan rasulNya.

4. Sebuah hadits shahih menjelaskan larangan Rasullah Muhammad SAW kepada seorang sahabat tentang hukum menerima dirham/upah atas dakwah kepada jalan Allah. Dikisahkan dalam hadits tersebut, seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, bahwa ia dijamu dengan beragam hidangan oleh qoum yang mendengar dakwahnya.

Terhadap hal ini Rasulullah SAW hanya tersenyum (tidak melarang) dan hanya mengomentari: “Kamu Senang” , maka jawab sahabat tersebut “Iya ya Rasulullah”. Namun ketika sahabat bertanya tentang bolehkan ia menerima bingkisan dirham/uang/amplop/materi setelah berdakwah maka Rasul melarangnya dengan jawaban : “Ambilah jika kamu ingin dijebloskan ke dalam neraka”.

Jelas bahwa apabila ada orang yang disebut ulama, kyai, atau da’i namun dengan rela, senang hati atau membiarkan diri dipaksa jamaahnya untuk menerima upah dengan alasan apapun berarti tidaklah layak mereka untuk didengar, diikuti, atau dibela, karena mereka inilah para pengkhianat terhadap amanah.

Ulama yang seharusnya mengayomi dan memprogram ummat, malah justru mereka minta diayomi dan diprogram oleh ummat. Mereka lebih takut kepada celaan dan ancaman manusia, dan tunduk kepada nafsu daripada takut kepada azab neraka yang telah disediakan Allah bagi para pengingkar. Naudzubillah. Karena ulama’ adalah kedudukan khusus yang diberikan Allah kepada hamba-hamba pilihan, bukan julukan yang diberikan manusia.


Mawaddah fil Qurba adalah Solusinya

Mawaddah fil Qurba (kasih sayang dalam kekeluargaan) adalah suatu pola ukhuwah Islamiyah yang dijelaskan Allah dalam Alqur-an :
“…katakanlah tidaklah aku aku meminta atas kamu atas seruan (dakwahku) ini suatu upah, kecuali mawaddah fil qurba…” (Qs.Assyura, 42 : 23).

Sikap ukhuwah dalam bentuk kasih sayang kekeluargaan adalah wujud nyata dari iman yang benar dari setiap muslim. Sebagaimana dalam hadits : “Tiadalah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”.

Ulama yang benar tiada mengharap balasan manusia atas dakwahnya, namun tiadalah larangan bagi kita untuk menjalin kasih sayang kepada mereka dalam bentuk perhatian dan ta’awun (saling memberi dalam kebaikan). Memberikan perhatian terhadap keseharian sesama muslim-termasuk kepada ulama’ dengan melihat kondisi mereka, bersilaturahim, dan merasakan suka duka mereka dalam berjuang, serta saling memberi adalah dibenarkan apabila tiada dikaitkan dengan upah mereka dalam berdakwah, namun semata-mata atas dasar kasih sayang yang terikat dalam rasa kekeluargaan muslim.

“(Shodaqoh itu) untuk orang-orang fakir (sangat miskin ; ulama’) yang terikat di jalan Allah (seperti menuntut ilmu) dan tiada kuasa (mereka) berjalan mencari penghidupan di muka bumi. Menurut dugaan orang yang tiada mengetahui, mereka (ulama’) itu orang kaya, karena menjaga diri mereka dari meminta-minta.

Engkau kenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tiada meminta kepada manusia dengan menyatakan, dan apa-apa yang kamu nafkahkan dari harta yang baik-baik, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” (Qs. alBaqoroh : 273).

Ulama’ yang shohih memelihara diri mereka dari sifat mengeluh terhadap persoaalan duniawiyah, dari sikap meminta-minta belas kasih manusia. Mereka shabar dan istiqomah menjalani berbagai cobaan kesenangan atau kesempitan hidup.

Maka dari itu, ulama’ dan ummat harus menyatu dalam gerakannya dan saling menyokong, sehingga muncul rasa mawaddah fil qurba. Inilah sikap yang dibenarkan dalam Islam.

Jangan sampai ulama dan da’i disamakan dengan artis / selebritis yang jika sekali mentas dibayar sekian rupiah, kemudian dibiarkan begitu saja.
Ulama (orang berilmu) jangan sampai pula menjadi umala’ (penjilat) dan dai (penyeru) jangan sampai menjadi do’i (idola/penghibur) untuk bersenang-senang saja, sebab kalau sampai terjadi demikian, maka selamanya kondisi ummat dan negeri tidak akan pernah mencapai keadilan, kesejahteraan, baldhatun toyyibathun walqhofun qhofur. Wallahu’alam.(Sumber perpustakaandigital.net)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.