Apakah Masjid Bukan Rumah Tuhan (?)
THE JAMBI TIMES - Jika kita menyebut masjid, yang
terbayang pasti sebuah bangunan dengan ciri khas kubah dan menara
tinggi yang dipasangi pengeras suara, yang kadang-kadang berjumlah
empat buah, mengarah ke empat penjuru angin. Biasanya ujung
kubahnya dibuat runcing dan dipasangi gambar bulan-sabit dan bintang.
Tapi ketika muncul Yayasan Amal
Bakti Muslim Pancasila yang digagas Soeharto, kita mulai melihat banyak
masjid yang yang di atas kubahnya dipasang tulisan “Allah”
(الله). Bangunan ini oleh WJS Purwadarminta dalam kamusnya disebut
sebagai: rumah atau bangunan tempat bersembahyang orang Islam. Definisi
tersebut persis sama dengan yang kita dapati dalam kamus Bahasa
Inggris: building in which Muslims worship.[1]
Orang Islam sendiri kadang menyebut masjid sebagai
“rumah Tuhan” atau “rumah Allah”, atau “rumah ibadah”. Sebutan-sebutan
itu masing-masing mempunyai pengaruh (implikasi) tertentu, yang cenderung
mempersempit pengertian istilah masjid.
Dengan menyebutnya sebagai
rumah (tempat) ibadah, misalnya, jelas maksudnya adalah ibadah
ritual seperti shalat. Jadi, masjid adalah tempat untuk melakukan
shalat.
Dengan menyebut masjid sebagai rumah Allah (terjemahan dari
baitullah), terkesan seolah-olah Allah tinggal di masjid,
meski kesan itu mungkin hanya terlintas dalam pikiran anak-anak.
Kenyataannya dengan menyebut masjid sebagai rumah Allah, timbul anggapan
bahwa masjid adalah sebuah bangunan sakral, atau tempat suci
sehingga harus dihormati sedemikian rupa. Kedua sebutan itu sedikit
atau banyak telah berperan menjadikan masjid sebagai bangunan yang
cenderung kosong dan sepi. Anjuran untuk ‘memakmurkan’ (meramaikan)
masjid tidak pernah berhasil membuat masjid ‘hidup’ seperti yang
diharapkan. Masjid hanya terlihat ramai selama beberapa jam pada hari
Jum’at, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pendeknya, hanya ramai pada hari-hari
besar. Tapi barangkali memang itulah yang diharapkan. Sebagai rumah suci,
masjid harus sepi. Sebab kalau selalu banyak orang berkeliaran,
masjid akan menjadi kotor! Barangkali.
Tempat sujud
Bila kita tanyakan kepada para ahli bahasa,
mereka pasti mengatakan bahwa masjid adalah tempat sujud,
dengan alasan bahwa menurut teori bahasa masjid termasuk isim makan
(kata yang menunjukkan tempat berlakunya suatu tindakan). Kenyataannya
kita melakukan sujud tidak hanya di dalam bangunan yang bernama masjid, tapi
sering juga di rumah dan di tempat-tempat lain. Bahkan ada sebuah Hadis
yang mengatakan bahwa seluruh permukaan bumi adalah masjid. (Kullu
ardhin masjidun). Ini bukan hanya berarti bahwa shalat memang bisa
dilakukan di mana saja, tapi juga menantang kita untuk memahami lebih jauh
pengertian masjid.
Secara harfiah masjid memang berarti
tempat sujud, dan sujud itu sendiri secara harfiah berarti
tunduk atau menundukkan badan. Tapi pengertian hakiki dari tunduk
itu sendiri adalah patuh terhadap sesuatu, baik terhadap
Tuhan, orang, atau prinsip tertentu. Dengan demikian, dalam makna
yang hakiki, masjid berarti tempat, atau wadah, atau
sarana untuk menyatakan kepatuhan. Tentu saja yang dimaksud di sini
adalah kepatuhan terhadap Allah. Dalam pengertian inilah Nabi mengatakan bahwa
seluruh permukaan bumi adalah masjid. Dengan kata lain, seluruh permukaan bumi
adalah tempat bagi si mukmin untuk melakukan pengabdian terhadap Allah. Ini
ditegaskan Nabi dengan sabdanya yang lain: “Bertakwalah kepada Allah
di mana pun kamu berada.” (Ittaqillaha haitsu ma kunta).
Perlu ditegaskan lagi bahwa sebagai
suatu wadah atau sarana untuk menyatakan kepatuhan, di dalam masjid
harus terdapat segala perangkat (perlengkapan) yang dibutuhkan
untuk itu. Dalam pengertian material, perangkat yang dibutuhkan untuk sujud,
misalnya, amat sederhana. Kita bisa sujud di atas selembar
sajadah, kertas koran, atau di atas sebuah batu. Bahkan
bila semua itu tidak kita jumpai, kita bisa sujud di atas tanah.
Sesederhana tindakan sujud secara fisik, begitu pula sarana yang
dibutuhkan. Tapi sebagaimana luasnya makna kepatuhan, seluas itu
pula sarana yang dibutuhkan untuk menyatakan, mewujudkan, dan memeliharanya.
Sarana ini bisa disediakan oleh manusia, tapi tidak akan mampu mencapai sasaran
yang dikehendaki Allah. Karena itulah Allah menurunkan petunjuknya, menurunkan
agamanya.
Agama = masjid?
Jadi, pada hakikatnya, agama itu adalah masjid. Yaitu
wadah atau sarana untuk menyatakan, mewujudkan, dan memelihara kepatuhan
terhadap Allah, menurut Allah. Dalam pengertian ini, agama sebenarnya sama
dengan organisasi. Organisasi, organization, berasal
dari kata organize, yang berarti mengatur atau menata sedemikian rupa sehingga
terwujud kerapihan, kebersihan, kejelasan, dan kedayagunaan.
(arrange something properly or carefully, so that it is
effective, clear, tidy etc).[2]
Dalam lingkup pengertian masjid sebagai
organisasi, yang di dalamnya terdapat sistem penataan yang berasal
dari Allah (Al-Quran), maka masjid dalam bentuk materialnya hanyalah
bagian kecil dari organisasi tersebut. Namun betapapun kecilnya, ia
mempunyai peran strategis. Karena itulah bangunan material
tersebut mempunyai nama yang sama dengan organisasinya, masjid.
Kadang ia pun disebut baitullah, yang diterjemahkan orang menjadi “rumah
Allah”. Ini jelas terjemahan yang tidak bertanggung-jawab, karena tidak
menggunakan landasan visi yang benar, kecuali hanya berpegang pada kamus bahasa
Arab. Baitullah, jelas tersusun dari dua kata, bait(un) dan Allah.
Secara umum bait memang berarti rumah, tapi dalam konteks lain ia
juga bisa berarti wadah, sarana, dan organisasi. Tapi bila dipikirkan lebih
cermat, istilah rumah itu sendiri sebenarnya sudah mempunyai pengertian
organisasi, karena rumah dibangun berdasar suatu teknologi
pembangunan yang sistematik. Anda akan dapat mendalami pengertian
bait ini bila mengkaji surat Al-Ankabut ayat 41, tentu tanpa memisahkan
kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.
Suatu organisasi akan berjalan baik bila di dalamnya
terdapat figur-figur yang berdedikasi dan menguasai sistem, sehingga
mereka dapat memimpin para anggota yang terdiri dari orang-orang awam.
Organisasi ini akan semakin kokoh bila para anggotanya yang awam itu dibina
dengan baik, sehingga mereka pun menjadi figur-figur yang berdedikasi dan
memahami sistem, tidak terus menjadi anggota yang hanya ikut
secara membuta saja. Prinsip seperti inilah yang seharusnya
dipegang ketika kita mendirikan bangunan (material) masjid.
Dalam kaitan dengan masjid, figur-figur
berdedikasi dan mengu-asai sistem tersebut dikenal dengan sebutan imãm
(jamaknya: ayyimah, atau a-immah).
Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa yang berhak
(dan wajib) menjadi imam adalah orang-orang yang
paling memahami Al-Quran dan Sunnah. Pada masa Nabi jabatan tersebut
dipegang oleh Nabi sampai menjelang wafatnya, karena sudah pasti
pada saat itu tidak ada orang yang lebih tahu tentang Al-Quran selain Nabi.
Lengkapnya isi Hadis tersebut adalah sebagai berikut:
‘Uqbah bin ‘Amr meriwayatkan bahwa
Rasulullah pernah berkata, “Yang layak menjadi imam kaum ini adalah orang yang
lebih memahami kitabullah. Bila di antara mereka ada sejumlah orang yang
mempunyai kualitas pemahaman sama, maka pilihlah yang paling
mengetahui Sunnah. Bila kualitas pemahaman Sunnah mereka
sama, pilihlah yang paling awal berhijrah. Bila saat berhijrah
mereka pun sama, pilihlah yang paling tua. Kemudian, janganlah seorang lelaki
menjadi imam di wilayah orang lain, sebagaimana ia tidak boleh duduk
pada tempat khusus di rumahnya tanpa mendapat ijin darinya.”
(Hadis riwayat Ahmad dan Muslim).
Hadis ini secara gamblang menggambarkan siapa yang
berhak dan berkewajiban menjadi imam, yaitu orang-orang yang paling
memahami Al-Quran dan Sunnah, yang dipilih dari suatu kaum (masyarakat).
Ditegaskan pula bahwa setelah seorang imam terpilih di suatu tempat,
maka imam di tempat yang lain tidak boleh melecehkan kedudukannya. Jadi,
Hadis ini selain menjelaskan kriteria (landasan nilai) seorang imam,
juga menjelaskan tentang adanya wilayah pemba-gian tugas seorang imam,
menggambarkan bagaimana cara pembinaan umat ketika
Islam semakin tersebar luas.
Semakin jelas pula bagi kita bahwa fungsi masjid
(material) adalah sebagai pusat pembinaan umat, yang
di dalamnya ‘menetap’ seorang imam. Bahkan Hadis tersebut
mengisyaratkan bahwa yang harus mengelola sebuah masjid bukan hanya
seorang imam, tapi minimal empat orang, dengan yang tertua dan paling memahami
Al-Quran dan Sunnah sebagai ketua, sedangkan yang lain sebagai
wakil. Ini juga mengisyaratkan bahwa dalam sebuah masjid
harus ada organisasi kepengurusan yang baik, yang dipimpin keempat
orang berkualitas tersebut, sehingga fungsi masjid sebagai pusat
pembinaan umat dapat berjalan dengan baik.
Tentu saja pembinaan umat harus dimulai dengan
membimbing mereka untuk memahami Al-Quran. Karena itulah dalam sebuah masjid
dibutuhkan paling sedikit empat orang yang memahami Al-Quran dan Sunnah
dengan baik. Ini berarti bahwa pendidikan untuk menghasilkan
orang-orang seperti itu pun harus diadakan. Jadi, harus ada perguruan
tinggi untuk para calon imam. Sebutlah seperti sekolah calon
pendeta dan pastor dalam agama Kristen. Selanjutnya,
tentu harus ada juga organisasi khusus bagi para imam itu, sehingga
mereka dapat melakukan pertemuan tingkat nasional secara rutin. Nama
organisasinya bisa saja Majlis Ulama, atau yang lain. Yang penting adalah
fungsinya.
Lalu, apakah yang akan terjadi bila prinsip-prinsip
dalam Hadis tersebut dijalankan?
Sesuatu yang dahsyat.
Yaitu bersatunya umat Islam!
Namun tentu saja ada akibat sampingannya. Di antaranya
adalah pasti berkurangnya (mungkin secara drastis) para da’i
profesional yang kini bergentayangan di mana-mana, yang begitu
menyedot perhatian umat tak ubahnya para artis, sehingga masalah-masalah
fundamental umat tak pernah terselesaikan. Bila Hadis itu
dijalankan, mereka bisa lenyap dari peredaran, dari dunia publisitas dan
popularitas. Tapi tentu saja riwayat mereka tidak akan tamat. Sebab bila
mereka memang mempunyai komitmen terhadap pembinaan umat,
mereka akan ‘nong- krong’ di masjid.
Mereka dapat
melakukan pembinaan intensif untuk melahirkan kader-kader mukmin
berkualitas. Bila semula mereka cuma ‘mempunyai’ massa mengambang alias
umat yang tidak pasti, kini mereka akan mempunyai umat yang jelas,
walau jumlahnya tidak berjuta! Cuma, tentu saja mereka tidak akan terkenal,
dan tidak akan banyak duit. Tapi apa gunanya mereka punya duit banyak bila umat
tetap miskin harta dan ilmu karena tidak terorganisir?
Umat yang tidak terorganisir bahkan tidak bisa
dikatakan umat. Mereka hanya seumpama butir-butir pasir yang tidak punya
perekat.
Perekat umat itu sebenarnya adalah Al-Quran, dan yang
berkewajiban untuk mengajarkan adalah ulama. Sayangnya, mereka yang disebut
ulama pun kebanyakan tidak memahami Al-Quran. Lihat saja apa yang mereka
hasilkan selama ini. Berapa banyak tafsir Al-Quran yang dihasilkan ribuan (?)
‘ulama’ Indonesia? Bagaimana pula mutu tafsir-tafsir yang sudah mereka bikin?
Berapa banyak di antara mereka yang benar-benar menguasai bahasa Arab? Berapa
jilid buku pelajaran bahasa Arab yang telah mereka terbitkan? Berapa buah kamus
bahasa Arab yang telah mereka selesaikan? Setahu penulis, kita belum mempunyai
sebuah pun tafsir Al-Quran yang boleh dikatakan berkualitas tinggi. Buku-buku
pelajaran bahasa Arab pun kebanyakan cuma hasil terjemahan, dan dengan kualitas
penerjemahan yang buruk pula. Tentang kamus bahasa Arab, baru tahun 1980-an
Ahmad Warson Munawwir menerbitkan kamus bahasa Arab ‘terlengkap’,
walaupun cuma hasil jiplakan dari kamus Al-Munjid.
Setelah itu muncul pula sebuah kamus yang merupakan
jiplakan dari kamus Al-Mawrid.
Apa boleh buat. Agaknya baru sebatas itulah kemampuan
ulama kita.(ABC)