Muhammad Pernah Jadi Sekjen Partai ?
THE JAMBI TIMES - Para ahli
sejarah tidak pernah mengungkapkan alasan ilmiah mengapa Muhammad mendapat
julukan “Al-Amin” dari masyarakat Arab di kota Makkah. Mereka cuma mengatakan
bahwa julukan itu diberi kan sebagai kehormatan karena ia merupakan pemuda
“yang dapat di percaya”, karena ia sangat jujur. Tapi sejujur apa
pun, bila ia bukan orang penting dalam masyarakat, kejujurannya tentu
tidak akan menjadi demikian populer. Di Indonesia, misalnya, tentu cu
kup banyak orang yang “bersih”, tapi yang (pernah)
mendapat julukan Mr.
Clean ternyata cuma Mar’ie Muhammad. Mengapa?
Tentu karena ia
(waktu itu) se orang pejabat (salah satu menteri keuangan pada
masaSuharto), yang kebetulan memiliki kelebihan sebagai “orang
bersih” (jujur) dibandingkan dengan para pejabat lain yang, setidaknya,
patut di curigai terlibat KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme). BilaMar’ie Muhammad hanya orang biasa, apalagi cuma
tinggal di kampung, julukan sebagai Mr. Clean pasti tidak akan pernah
terdengar.
Jadi,
ada kemungkinan bahwa Muhammad sebelum menjadi rasul adalahorang yang
memegang suatu jabatan penting dalam sistem pemerintahan yang
berlaku di Makkah pada waktu itu. Tapi apakah di Makkah pada masa itu sudah ada
sistem pemerintahan seperti se karang?
H.
Rosihan Anwar menulis dalam buku Ajaran
Dan Sejarah Islam Untuk Anda:
… “Kalau
keadaan Mekah hendak dibicarakan, maka biarlah saya
mengutip keterangan Prof. Gibb yang melukiskan Mekah bukan sebagai dusun
yang terpencil dan mengantuk, melainkan sebagai kota dagang yang
ramai dan makmur, yang hampir memonopoli pusatperda gangan antara Lautan
India dan Lautan Tengah. Mekah di zaman Nabi merupakan satu “kota-negara”
atau city state seperti yang terdapat di zaman Yunani purbakala,
kota-negara Athena misalnya.
Ada
pula yang mengatakan, Mekah di waktu itu suatu “commercial republic” atau
“republik yang hidup dari perniagaan”. Di sam ping itu Mekah juga
merupakan pusat keagamaan yang dibangunkan se kitar Ka’ba. Ia menarik banyak jemaah,
yang berdatangan memuja ber hala-berhala yang terdapat dalam Ka’ba di masa
itu.”
…
Mekah di masa itu tidak terkebelakang adanya. Pemimpin-pemim-pinnya dan
penguasanya orang-orang yang pandai memerintah, berpe-ngalaman dalam
kontak dengan lain-lain bangsa seperti dengan Rumawi, Persia, dan
lain-lain.”[1]
Para
ahli sejarah umumnya mengakui bahwa di Makkah pada waktu itu (sudah) ada
semacam lembaga permusyawarahan yang disebut Darun-Nadwah. Di situ
dirundingkan segala urusan yang menyangkut kepentingan umum. Mungkin dari
lembaga inilah lahir sepuluh orang yang disebut syarïf, yang masing-masing
memegang jabatan penting dalam negara-kota tersebut. Dalam buku Api Islam karangan Syed
Ameer Ali jabatan yang mereka pegang itu disebutkan secara rinci:
1. Hijabah, penjaga kunci-kunci
Ka’bah, suatu jabatan keagamaan yang penting. Pertama dipegang oleh
keluarga Abdud-Dar. Ketika warga Makah masuk Islam jabatan ini di-pegang
oleh Usman, putra Talhah.
2. Sikayah, pengawas mata
air Zamzam. Semula dipegang keluarga Hasyim, dan pada waktu
Mekah ditaklukkan dipegang Abbas, paman Rasulullah.
3. Diyat, hakim sipil dan
kriminal, yang lama dipegang oleh keluarga Taim bin Murrah, dan pada waktu
Mekah ditaklukkan dipegang oleh Abdullah bin Kuhafah alias Abu Bakar.
4. Sifarah, duta,
yaitu jabatan yang dipegang oleh kuasa usaha negara, yang
berkuasa membicarakan dan menyelesaikan perselisi han antar kabilah maupun
sesama suku Quraisy, juga perselisihan dengan orang asing. Jabatan ini pernah
dipegang Umar.
5. Liwa, pemegang
panji (bendera) kebangsaan, alias kepala seluruh angkatan bersenjata.
Pemegangnya waktu itu keluarga Umayyah, yaitu Abu Sufyan bin Harb.
6. Rifadah, pengurus
pajak untuk orang miskin, musafir, penziarah, dsb. Pernah dipegang
Abdul-Muthalib, kemudian Abu Thalib, dan setelah dia jatuh ke tangan keluarga
Naufal, putra Abdul-Manaf, dan di masa Rasulullah dipegang Harits, putra Amar.
7. Nadwah, ketua
dewan nasional, yaitu penasihat pertama Negara, yang menginstruksikan
semua pekerjaan umum. Pada masa Rasulul lah jabatan ini dipegang Aswad,
dari keluarga Abdul-Uzza, putra Kussai.
8. Khaimmah, pengurus
balai musyawarah, yang berhak memanggil para pejabat untuk bermusyawarah,
memerintahkan tentara untuk siaga perang. Jabatan ini pernah dipegang
Khalid bin Walid dari keluarga Yakhzum putra Marra.
9. Khazina, administratur
keuangan negara. Dipegang oleh keluarga Hasan bin Kaab yaitu Harits bin
Qais.
10. Azlam, (jamak
dari zalam),
penjaga panah peramal (undian) untuk mengetahui pendapat para
dewa/dewi. Pejabatnya adalah Safwan, saudara Abu Sufyan.
Selain
dari yang tersebut itu, anggota yang tertua mempunyai pengaruh
terbesar, dan gelarnya adalah Ra’is atau Sayyid. Abbas paman Rasulullah
pernah mendapatkan kedudukan ini.
Muhammad bin
Abdullah memang tidak tercatat sebagai salah seorang dari kesepuluh
Syarif itu, mungkin karena waktu itu usia nya masih sangat muda. Tapi bila
mengingat nama baiknya, kemung kinan itu niscaya sangat terbuka
baginya.Bukankah ketika para pembesar Quraisy mulai dipusingkan oleh
kegiatan da’wahMuhammad mereka juga menawarkan jabatan raja kepadanya?
Tawaran dari para
elit Quraisy itu diusulkan dan kemudian diajukan sendiri oleh
‘Utbah bin Rabi’ah:
“Kalau
kau mau uang, kami akan kumpulkan kekayaan supaya kau menjadi yang palingkaya
di antara kami. Kalau menghendaki kekuasaan, kami akan angkat kau
sebagai ketua suku, sehingga tak akan ada yang diputuskan tanpa ikut
sertanya kau. Kalau mau kekuasaan, kami akan angkat kau men jadi raja. …”[2]
Namun bila peristiwa ini dicatat
dengan penuh gairah oleh para ahli sejarah, ada peristiwa lain yang
tak kalah penting yang justru mereka abaikan. Misalnya keterlibatan Muhammad
dalam orga nisasi yang bernama Hilful-fudhul.
Ini dikatakan Fuad Hashem se bagai koalisi, dan Barakat Muhammad
menyebutnyaconfederation[3]. Menurut Fuah Hashem hilful-fudhul
lahir karena ulah ‘Ash bin Wail (ayah panglima perang dan politisi ‘Amr bin
‘Ash) yang tidak mau membayar utang seorang Yaman. Tapi Haekal
mengungkapkan bahwa pe nyebabnya adalah Perang Fijar.
Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan
sekali bencana yang menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang
disebabkan oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan ‘Abdu’l-Muttalib wafat, dan
masing -masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa. Kalau tadinya orang
-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut mau berkuasa. A tas anjuran
Zubair bin ‘Abd’l-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan
dengan mengadakan jamuan makan,dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim,
Zuhra dan Taym. Mereka sepakat dan ber janji atas nama Tuhan Maha Pembalas,
bahwa Tuhan akan berada di pi hak yang teraniaya sampai orang itu tertolong.
Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf’l-Fudzul.
…[4]
Kata Haekal pula, sejarah tidak
tidak memberikan kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu Perang
Fijar itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang
mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
perang tersebut berlangsung selama empat tahun (tapi dalam setahun cuma
bebe rapa hari). Pada tahun permulaan ia berumur limabelas tahun dan
pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.[5] Tapi yang perlu diperhatikan di
sini adalah kehadiran Muhammad dalam pertemuan di rumah Abdullah bin Jud’an
itu. Mengapa dia bisa ada di situ, dalam usia semuda itu, di
tengah pertemuan para tokoh itu?
Bila mengingat uraian Haekal yang
menyebutkan betapa pentingnya peran Abdul Muthalib dalam
mempersatukan bangsa Arab, bi sa jadi Muhammad dihadirkan dalam pertemuan
itu karena ia cucu Abdul Muthalib. Tapi alasan ini kurang bisa
diterima; karena pertemuan itu diadakan sehubungan dengan persoalan besar yang
mereka hadapi. Alasan yang paling logis untuk mengundang seseorang dalam
pertemuan tersebut adalah pertimbangan bahwa orang itu akan dapat memberikan
sumbangan positif, baik karena pengaruhnya dalam ma syarakat maupun karena
hal-hal lain, misalnya kecerdasannya.
Para ahli
sejarah sepakat menyebut Muhammad sebagai orang yangcerdas, jujur,
dan bijaksana. Bila statusnya sebagai cucu Abdul Muthalib dan
keponakan Abu Thalib yang juga berpengaruh, dipadukan dengan ketiga
hal tersebut, maka jelas kehadirannya da lam per-temuan itu bukan semata-mata
karena alasan berbau nepotis me, tapi karena kebutuhan yang nyata. Pendek kata,
Muhammad hadir dalam pertemuan itu karena mereka menganggap ia bisa
berperan banyak dalam Hilful-Fudhul ter-sebut. Bisa jadi nama Muhammad menja di
ter-kenal karena perannya dalam organisasi ini. Bukan mustahil pula bila
dalam organisasi ini Muhammad dipercaya memegang kedu dukan sebagai
sekretaris. Sekretaris dalam bahasa Arab adalah al -amïn!
Selain itu, benarkah Muhammad tidak
pernah mempunyai salah satu jabatan dalam sistem pemerintahan di Makkah? Bila
Abu Bakar sendiri pernah memegang jabatan hakim sipil dan kriminal (diyat), apakah Muhammad
tak pernah menduduki salah satu jabatan (yang mungkin tidak termasuk “sepuluh
besar” tersebut)? Haekal menyebut bahwa Abu Bakar bin Abi Quhafah dari kabilah
Taim adalah teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah
diketahuinya benar ia sebagai orang bersih, jujur dan dapat dipercaya.[6] Dari mana, atau dengan cara apa,
Abu Bakar mengetahui sifat-sifat Muhammad itu? Bila dikatakan sahabat akrab,
apakah mereka itu teman bermain, berdagang, atau justru ‘teman sekantor’?
Ini (bahwa Muhammad seorang
sekretaris) memang baru asumsi; yang tentu sangat mengecewakan mere ka yang
kadung menobatkan Muhammad sebagai orang buta huruf. Tapi bila asumsi ini
benar, maka penobatan Muhammad sebagai orang buta huruf itu adalah sebuah
lelucon, atau malahpenghinaan. Atau mungkin hanya sekadar penilaian
yang tidak semestinya (underesti
mate). Bukankah orang-orang Quraisy itu para sastrawan hebat,
yangpunya tradisi menggantung syair-syair mereka pada dinding
Ka’bah? BukankahMuhammad itu cucu Abdul Muthalib yang sangat terhormat?
Konon ketika Abdul Muthalib melakukan undian untuk
memastikan siapa di antara anak-anaknya yangharus dikorbankan untuk
dewanya, ia menyuruh kesepuluh anaknya untuk menulis nama masing-masing.
Bila anak-anaknya tidak buta huruf, apakah ia akan mebiarkan cucu kesayangannya
buta huruf? Dalam masalah ini keba nyakan ahli sejarah memang bersikap
kurang logis, atau malah se ngaja menggunakan logika lain, sehingga
penggambaran yang mereka lakukan sering saling bertentangan (kontra-diktif),
terutama kare na mereka cenderung ingin menonjolkan hal-hal yang
berbau mu’ji zat dan mistik.[7] Atau mereka justru cuma menjadi
kor-ban propaganda Yahudi, yang memang mengaku berjasa dalam membudayaan bangsa
Arab.[8]
Jadi, masalah besar yang dihadapi
bangsa Arab — dan khususnya Muhammad secara pribadi — adalah masalah
‘kesatuan’ (integri tas) mereka sebagai bangsa, yang ternyata tidak bersatu.
Atau ka lau menggunakan istilah Al-Quran, di tengah mereka
tidak ada rasa persaudaraan (ukhuwwah).
Tentu karena tidak adanya faktor dominan (pengaruh kuat) yang mengarahkan
mereka ke sana. Lahirnya Hilful- Fudhul hanyalah sebuah isyarat bahwa keinginan
untuk bersatu itu sebenarnya memang ada; karena mereka sadar bahwa
memelihara per musuhan hanyalah menimbulkan bencana. Namun
agaknya ‘organisasi’ ini tidak dapat memenuhi harapan mereka. Mengapa?
Barakat Ahmad, dengan merujuk tulisan W. Robertson Smith dan Encycloaedia of Islam,
memberikan gambaran:
…
Hilf is a compact between quite separate tribes, general in scope, made for the
object of establishing a permanent state of peace between the tribes. It did
not diminish their autonomy, but united them for purposes of com-mon
defence, for mutual payment of settlements to third parties, for
venge-ance, and for the common use of pasturage.[9]
Hilf adalah sebuah kesepakatan yang
secara umum mencakup suku-suku yang sangat berpencaran, yang dibuat demi
menegakkan situasi damai di antara para suku itu. Kesepakatan
tersebut tidak menghilangkan kemandi-rian (otonomi) mereka, tapi
menyatukan mereka dalam kepen tingan pertahanan keamanan bersama, pembayaran
denda (utang) bersa ma kepada pihak-pihak ketiga, pembalasan bersama (bila
mereka dise rang pihak-pihak yang tidak ikut dalam kesepakatan),
dan kesepaka tan untuk memanfaatkan padang rumput demi kepentingan
bersama.
Kutipan di
atas menggambarkan bahwa Hilful-Fudhul dibentuk semata-mata karena
pertimbangan yang sangat pragmatis, yang tetap mengekalkan benih-benih
perpecahan di dalam. Mereka mungkin kompak menghadapi musuh
bersama dari luar — yang biasanya jarang muncul — tapi di dalam
‘rumahtangga’ mereka sendiri sikap saling sikut dan saling jegal tetap
dipertahankan. Dengan kata lain, me reka hanya damai di permukaan. Itulah
agaknya hasil maksimal dari Hilful-Fudhul.
Lalu apa yang terjadi dengan
Muhammad bin Abdullah? Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa
sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad bertahun-tahun lebih dulu
terlibat dalam pemikiran dan kontemplasi yang mendalam dan
kadang-kadang sangat menegang-kan dalam membaca masyarakat komersial kota
Makkah yang zhalim itu. Menurutnya, ada tiga fenomena sosiologis-religius
yangdisimpul kan Muhammad dari data sosial yang dibacanya selama
bertahun -tahun itu. Pertama, politeisme yang merajalela di mana-mana. Ke
dua, kesenjangan sosio-ekonomi yang parah antara yang punya dan tidak
punya. Ketiga, tidak adanya rasa tanggung-jawab terhadap na sib
manusia secara keseluruhan.[10]
Penyebutan Muhammad sebagai orang yang
berkontemplasi (mela kukan perenungan mendalam) selama bertahun-tahun, sebelum
menjadi rasul, adalah gambaran sebagian dari kenyataan sikap Muhammad pa da
waktu itu. Setelah melihat keterlibatannya dalam Perang Fijar (meski bukan
sebagai tentara), dankemudian ‘kehadirannya’ dalam Hilful-Fudhul, gambaran
yang diberikan Ahmad Syafii Maarif itu terasa menjadi pincang. Soalnya,
Muhammad bukan hanya seorang pe renung (man of thinking/feeling), tapi seorang
pemikir, perasa, dan tak mau tinggal diam. Dengan kata lain, ia tidak
hanya priha tin atas keadaan bangsanya, tapi juga giat mengerahkan segala da ya
yang dimilikinya untuk ikut memecahkan masalah yang dihadapi bangsanya (man of thinking and action).
Inilah, agaknya, alasan yang sangat logis yang memastikan
kehadirannya dalampertemuan para tokoh Quraisy di rumah Abdulah bin Jud’an
tersebut.
Bukan
mustahil bila Hilful-Fudhul adalah ‘kendaraan’ Muhammad untuk menapaki
jenjang popularitas di tengah masyarakat Arab di kota Makkah, meski
menjadi populer bukanlah tujuannya. Orga nisasi inilah yang membuatnya
terkenal sebagai “Al-Amin”. Karena itu tidak mengherankan bila ia mempunyai
kemampuan untuk menghimpun massa di satu tempat, seperti digambarkan para
ahli sejarah ketika ia pertama kali mengabarkan bahwa ia baru
menerima wahyu. Jelasnya, seorang “bocah ingusan” yang lugu dan tak
punya peran apa pun dalam masyarakat, tidak mungkin dapat berbuat
demikian! Selanjutnya, Muhammad sang pemikir yang tak betah diam melihat
kezhaliman itu, agaknya merasa bahwa Hilful-Fudhul hanyalah kendaraan butut,
yang tak mampu membawa bangsanya sampai pada tu juan yang mereka idamkan. Yaitu
persatuan dan perdamaian.
Kegagalan
Hilful-Fudhul menyatukan dan mendamaikan bangsa Arab (setelah
Muhammad sendiri berkiprah di dalamnya selama sekitar 20 tahun!) adalah
penentuan (turning-point)
yang mendorong Muhammad berubah sikap, dari “manusia yang giat dalam
urusan kemasyaraka tan” menjadi “manusia yang kontemplatif” (suka
merenung, mengucilkan diri), karena ia tidak tahu lagi apa yang harus
dilakukan untuk memecahkan per masalahan bangsanya. Inilah yang mendorongnya
untuk sering ‘bert apa’ di Goa Hira. Kasarnya, ia pergi ke Goa Hira karena
sudah ke habisan ide dan frustrasi!
Inilah
gambaran psikologis Muhammad. Manusia idealis yang terbelit masalah pelik dan
rindu penyelesaian.
Allah
menolongnya dengan menurunkan Al-Quran, yang harus dikajinya secara tartil. (Periksa
tulisan tentang surat Al-Muzzammil).
[1] Ajaran Dan Sejarah Islam Untuk
Anda, hal.163-164, cet. kedua, Pustaka Jaya, Jakarta 1979.
[2] Sirah Muhammad Rasulullah/Suatu Penafsiran Baru,
H. Fuad Hashem, hal. 152, cet. pertama, Mizan, 1989.
[3] Muhammad and The Jews, hal. 23, New
Delhi, 1979.
[4] Sejarah Hidup Muhammad, hal.67,
cet. ketiga, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta,
1979.
[5] Sejarah Hidup Muhammad, hal. 66.
[6] Sejarah Hidup Muhammad, hal. 100.
[7] Masalah ini telah diungkap
agak panjang -lebar dalam kajian tentang surat Al-’Alaq, yang tentu
juga erat kaitannya dengan surat Al-Muzzammil.
[8] God, Jews And History, hal.
188, Max I. Dimont, New York, 1962.
[9] Muhammad and The Jews, hal. 32.
[10] Al-Qur’an, Realitas Sosial Dan Limbo Sejarah
(Sebuah Refleksi), hal. 103, Penerbit Pustaka, Bandung,
1985