Kajian Wahyu Pertama Pertemuan Dengan Jibril
Pada
umumnya orang beranggapan bahwa pertemuan Muham mad dengan malaikat
penyampai wahyu (Jibril) pertama kali terjadi pada saat
Jibril menyampaikan wahyu pertama di Goa Hira. Dengan kata lain,
sebelum memberikan wahyu pertama itu Allah tidak mengadakan komunikasi
apa pun dengan Muhammad.
THE JAMBI TIMES - Tapi
dalam Shahih Muslim disebutkan ‘Aisyah, istri Nabi, ber cerita
kepada ‘Urwah bin Zubair bahwa wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi
adalah berupa ar-ru’ya-shadiqah fi-naumi (الرؤي
الصديقة فى النوم), yang diartikan orang sebagai “mimpi yang
benar di malam hari”. Sementara menurut Hans Wehr kataru’ya (jamak: ru-an)
selain berarti mimpi (dream) juga ber arti penampakan (vision).
Istilah ini populer di kalangan u mat Kristen, karena di antara mereka
banyak yang mengaku per nah melihat penampakan Yesus maupun Bunda Maria.
Bisakah
kita mengartikan ar-ru’ya-shadiqah pada Hadis
tersebut sebagai penampakan Jibril, sebagai awal perkenalan sebelum
menyampaikan wahyu? Wallahu a’lam! Tapi bila kita gu nakan logika,
jawabannya adalah: bisa jadi. Sebab tanpa ada nya proses
perkenalan, Muhammad tentu akan sangat terkejut ketika ia
didatangi (pertama kali) oleh Jibril di Goa Hira. Hadis tersebut bahkan
menjelaskan bahwa Muhammad melihat ar-ru’ya-shadiqah itu
begitu jelasnya, karena ia muncul seperti falaqu-shub-hi (matahari
di waktu subuh). Hadis ini memang tidak menyebutkan obyek yang
dilihat Muhammad, sehingga kita hanya bisa menduga-duga. Namun paling
tidak, Hadis ini mene gaskan bahwa sebelum menerima wahyu Muhammad
sudah menerima isyarat-isyaratnya. Mungkin berupa ‘penampakan’
Jibril seba gai awal perkenalan, mungkin pula bukan.
Dalam Hadis
ini terdapat istilah al -haqqu (kebenaran) yang tentu
digunakan untuk menyebut wahyu. Tapi di satu sisi istilah ini juga bisa
merupakan lawan kata (antonym) bagi ar-ru’ya.
Dengan demikian, ar-ru’ya-shadiqah itu bisa
berarti “bayangan/isyarat kebenaran”, sehingga me mang tidak perlu ada
obyek lain yang dilihat Muhammad, kecua li “semacam cahaya” (mitslu
falaqi-shub-hi).
Menurut
Hadis itu pula, sejak saat itulah Muhammad mu lai punya
keinginan untuk menyepi (berkhalwat) di Goa Hira. Di sana ia
‘beribadah’ selama beberapa malam, sampai bekalnya habis, la lu pulang untuk
mengambil bekal lagi. Menurut Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah
Hidup Muhammad[1], setelah mendapat ‘mimpi’ itu
Mu hammad dilanda kegelisahan selama enam bulan. Bahkan ia sem pat
merasa khawatir kalau-kalau dirinya diganggu oleh jin.
Haekal
berasumsi bahwa “…Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu
dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi
saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu datangnya wahyu
pertama.”[2] Penulis sependapat
dengan Haekal, tapi dengan catatan bahwa penulis cenderung menyeder
hanakan atau menggamblangkan pengertian ‘latihan rohani’ ter sebut
ddengan ‘penampakan’ Jibril, baik dalam wujud aslinya maupun
dalam bentuk manusia, sebagai awal perkenalan dengan Muhammad yang akan
menerima wahyu.[3]
Selanjutnya,
setelah mengalami kegelisahan dan mondar-mandir antara rumahnya dan Goa
Hira, Al-Malak(malaikat Jib ril) pun datang mmembawa
wahyu pertama. Haekal menggam-barkan demikian:
Tatkala
ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang
malaikat membawa sehelai lem baran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!”
Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia me rasa seolah
malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepas kan lagi seraya katanya lagi:
“Bacalah!” Masih dalam ke takutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa
yang akan saya baca?” Seterusnya malaikat itu berkata: “Baca lah! Dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena.
Mengajarkan kepa da manusia apa yang belum diketahuinya…”
Lalu ia
mengucapkan bacaan itu. Malaikat pun per gi, setelah kata-kata itu
terpateri dalam kalbunya.
Dalam
catatan kaki Haekal menjelaskan lagi:
Demikian
buku-buku sejarah yang mula-mula menceri takan. Ibn Ishaq juga ke sana
dasarnya. Demikian juga yang datang kemudian banyak yang
menceritakan begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat
bahwa permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di waktu
si ang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui Jibril yang menente-ramkan
hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibnu Kathir dalam Tarikh-nya
menyebutkan sum ber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na’im al-Ashbahani da lam
bukunya Dala’il’n-Nubuwa dari ‘Alqama bin Qais, bah wa
“Yang mula-mula didatangkan kepada para nabi itu me reka
dalam keadaan tidur (dengan maksud) supaya hati mereka
tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: “Ini yang dikatakan
‘Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan yang baik, diperkuat oleh yang
da tang sebelum dan sesudahnya”.
Di lain
pihak, Fuad Hashem dalam buku Risalah Muhammad Rasulullah memuat
kutipan dari Ibnu Ishaq sebagai berikut:
Ketika turun
malam di saat Allah merahmatinya dengan tugas kenabian dan memperlihatkan
kasih atas hamba Nya, malaikat Jibril membawa perintah Tuhan kepadanya.
“Ia datang kepadaku,” kata Rasul, “ketika saya sedang
tertidur nyenyak, dengan selembar brokat yang ada tulis annya lalu berkata,
‘Bacalah!’ Kata saya, ‘Apa yang akan saya baca?’ Ia menekan saya dengan
lembaran itu begitu kerasnya sampai-sampai saya merasa akan mati;
lalu ia melepaskan dekapannya dan berkata, ‘Bacalah!’ Saya ber
kata, ‘Apa yang akan saya baca?’ Sekali lagi ia mendekap saya sampai saya
merasa bagai akan mati; lalu ia melepaskan dekapannya lagi dan berkata,
‘Bacalah!’ Kata sa ya, ‘Apa yang akan saya baca?’ Ia mendekap
saya ketiga kalinya sampai saya merasa akan mati dan berkata, ‘Baca
lah!’ Saya katakan, ‘Apa pula yang akan saya baca?’ — dan saya
mengatakan begitu supaya ia melepaskan dekapan nya, kalau tidak ia akan
mengulangi lagi. Katanya: Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan, Yang
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmu Maha Pemurah, Yang
mengajarkan manusia menggunakan pena, Yang mengajarkan manusia yang tak mereka
ketahui. (QS 96: 1-5). “Maka saya membacanya dan ia melepaskan saya. Dan
saya terbangun dari tidur dan seakan kalimat-kalimat itu tertera dalam hati saya.”[4]
Kejadian
berikutnya, menurut ‘Aisyah kepada ‘Urwah bin Zubair, adalah:
Setelah
itu Rasulullah saw. kembali pulang, memba-wa ayat-ayat dan
pengalaman yang baru dialaminya itu dengan tubuh menggigil
gemetaran. Sampai di rumah Khadijah, beliau berkata,
“Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah segera
menyelimutinya, sehingga hilang rasa keterkejutannya. Kemudian ia berkata
kepada Khadijah, “Wahai Khadijah, bagaimana aku ini?”
Lalu
diceritakannya kepada Khadijah segala peristi wa yang baru
dialaminya. Setelah itu beliau berkata, “Aku cemas terhadap diriku
ini.” Jawab Khadijah, “Jangan! Jangan cemas! Gembirakanlah hati Anda! Percayalah,
Allah tidak akan menimpakan kehinaan pada diri Anda selama-lamanya.
Bukankah Anda selalu bersikap ramah tamah, menghubungkan silaturahmi,
selalu berbicara benar, selalu menunaikan tugas kewajiban,
menyediakan yang belum ada, memuliakan tamu, dan
membela orang-orang yang kesusahan demi menegakkan kebenaran!”
Kemudian
Khadijah membawa beliau mendatangi Waraqah bin Naufal
bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, yaitu anak paman Khadijah,
yang telah memeluk agama Nasrani sejak masa Jahi liyah. Dia pandai
menyalin buku-buku ke bahasa Arab. Antara lain dia menyalin Kitab Injil
ke bahasa Arab seberapa yang dapat ditulisnya. Dia pun sudah tua
dan matanya sudah buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku!
Dengarkanlah anak saudaramu ini (Muhammad) bercerita!” Jawab Waraqah bin
Naufal, “Hai anak saudaraku! Apakah gerangan
yang telah engkau alami?
Ceritakanlah!” Rasulullah saw lalu
mencerita kan pengalaman yang baru dialaminya. Kata Waraqah, “Itu adalah
malaikat (namus) Jibril a.s. yang pernah datang kepada Nabi
Musa a.s. Wahai diriku! Kalaulah aku masih muda,…
Wahai, kiranya diriku! Kalaulah aku masih hidup ketika engkau diusir oleh
wargamu…”
Tanya
Rasulullah, “Apakah mereka akan mengusirku?” Jawab Waraqah,
“Ya, benar! Tidak seorang pun yang datang
membawa apa (ayat-ayat) yang engkau bawa itu yang tidak dimusuhi.
Sekiranya aku masih mendapati hari itu, pasti aku akan membelamu
sekuat-kuatnya.”[5]
Selanjutnya,
Fuad Hashem menuturkan demikian:
Thabari
menambah catatan Ibnu Ishaq ini (lihat ku tipan di atas, pen.):
“Maka sekarang tak ada di antara makhluk Tuhan yang lebih membenci saya
dari penyair atau orang kerasukan (majnun). Saya malahan tak berani meman dang
mereka, pikir saya. Persetan diri saya yang penyair atau majnun — jangan sampai
kaum Quraisy menjuluki saya begitu! Saya akan ke bukit dan membuang diri saya
ke ba wah supaya mati dan beristirahat. Maka saya lalu berang kat melaksanakan
niat ini,” dan kemudian — (menurut ca tatan Ibnu Ishaq lagi): “Di tengah
punggung bukit, saya mendengar suara dari langit yang berkata: ‘Oh
Muhammad, Anda adalah utusan Allah dan saya ini Malaikat Jibril.’
Saya
menengadah ke arah langit untuk melihat (siapa yang berbicara) dan yah, Jibril
bersosok seorang pria dengan kaki mengangkang di cakrawala, seraya
berkata, ‘Oh Mu hammad, Anda utuasan Allah dan saya Jibril.’ Saya
terus menatapnya,” (dan menurut Thabari “itu mengalihkan per hatian dari
tujuan saya semula”) “dan tidak lagi beran jak ke depan atau ke belakang.
Lalu saya mulai memaling kan kepala dari lelaki itu, tapi ke mana pun
bagian langit yang kupandang, saya tetap melihatnya seperti tadi. Dan
saya terus berdiri di sana, tidak maju tidak mundur, sampai Khadijah mengirim
orang suruhannya untuk mencari saya dan mereka menemukan tempat tinggi
ini lalu kembali ke Khadijah sementara saya tetap berdiri tak
beranjak. Lalu ia meninggalkan saya dan saya kembali menemui keluarga saya.”
Demikian menurut Ibnu Ishaq.(a.h)
[1] diterjemahkan ke bahasa
Indonesia oleh Ali Audah.
[2] Sejarah Hidup Muhammad, hal.
89, cetakan ketiga, PT Dunia Pustaka Jaya, 1979.
[3] Aisyah bercerita bahwa suatu
hari Haris bin Hisyam bertanya kepada Rasulul lah mengenai cara penurunan
wahyu; Rasulullah menjawab: “Kadang-kadang ia (malaikat) datang
kepadaku seperti suara lonceng, dan itulah yang paling berat
bagiku, lalu ia pergi setelah aku menghafal apa yang dikatakannya.
Kadang-kadang Sang Malaikat datang menemuiku dengan menyamar sebagai seo rang
lelaki, lalu menyampaikan kalam (Allah) kepadaku, sampai aku menguasai apa yang
dikatakannya.
[4] Sirah Muhammad
Rasulullah/Suatu Penafsiran Baru, H. Fuad Hashem, hal. 125-126, Mizan,
Bandung, 1989.
[5] Terjemah Hadits Shahih Muslim
jilid 1, hal. 77-79, terjemahan Ma’mur Daud, cetakan kedua, “Widjaya”,
Jakarta 1986.