Apa Itu Tuhan?
I. Asal kata
Tuhan
THE JAMBI TIMES - Pada mulanya
kata tuhan hanyalah ‘pelesetan’ dari kata tuan; dan ini terjadi karena
kesalahan seorang Belanda bernama Leijdecker pada tahun 1678.
Peristiwa
itu diterangkan secara menarik oleh Alif Danya Munsyi di majalah Tiara (1984).
Ia
menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi sebagai salah satu gejala paramasuai,
yaitu penambahan bunyi h yang nirguna pada kata-kata tertentu, misalnya hembus,
hempas, hasut, dan tuhan.
Alif mengatakan
bahwa gejala itu timbul karena pengaruh lafal daerah, rasa tak percaya pada
diri sendiri, dan yang sangat penting adalah yang berkaitan dengan penjajahan
bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Indonesia.
“Lingua
Franca Melayu yang dipakai bangsa-bangsa Eropa, antara lain Portugis dan
Belanda, sebagai bahasa administrasi untuk kegiatan ekonomi dan politik di
seantero Nusantara, juga dipakai dalam kepentingan penyiaran agama Nasrani,
agama umum yang dianut oleh bangsa-bangsa Eropa,” tulis Alif.
Lebih lanjut
Alif mengatakan bahwa peralihan tuan menjadi tuhan, sepenuhnya bersumber dari
kepercayaan mereka atas Isa Al-Masih.
Mereka biasa
menyebut Isa dengan panggilan “tuan”, yang dalam bahasa Yunani adalah ‘Kyrios’,
dalam bahasa Portugis ’senor’, dalam bahasa Belanda ‘heere’, dalam bahasa
Prancis ’seigneur’, dan dalam bahasa Inggris ‘lord’.
Perhatikan
kutipan berikut ini:
Sebutan Tuan
bagi Isa Al-Masih berasal dari surat-surat Paulus, orang Turki, yang
menggunakan bahasa Yunani kepada bangsa Yahudi, Rumawi, dan Yunani di daerah
Hellenisme.
Pada setiap
akhir suratnya, Paus selalu menyebut Isa Al-Masih sebagai Tuan: “Semoga rahmat
Isa Al-Masih Tuan kita menyertai ruh kita.”
Kalimat
diatas, dalam bahasa Portugis, berbunyi: “A graca de mosso senhor Jesus Cristo
seja com ovosso espiritu”
Kalimat
diatas, dalam bahasa Belanda berbunyi: “De genade van onzen heere Jezus
Christus zij met uw geest”
Kalimat
diatas, dalam bahasa Prancisnya, berbunyi: “Que la grace de notre seigneur
Jesus-Christ soit avec votre esprit”
Kalimat
diatas, dalam bahasa Inggris, berbunyi: “The grace of or lord Jesus Christ be
whit your spirit”
Ketika
penghayatan ini diterjemahkan ke dalam bahasa ndonesia, mula-mula oleh bangsa
Portugis bernama Browerius, pada tahun 1663, sebutan Isa Al-Masih masih Tuan,
tetapi ketika orang Belanda bernama Leijdecker pada tahun 1678 menerjemahkan
surat-surat Paulus itu, sebutan Tuan telah berubah menjadi Tuhan.
Dengan kata
lain, Leijdecker yang pertama kali menulis Tuhan.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa kosakata Tuhan masuk edalam bahasa Indonesia sebagai
pengaruh teologi (agama) Kristen.
Pada mulanya
hanya sebagai ‘plesetan’ atau ’salah tulis’ orang Belanda, tapi selanjutnya
dibakukan sebagai kosakata baru yang disejajarkan dengan kata ilah dalam bahasa
Arab.
Karena
itulah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta (orang Katolik)
tidak memberikan keterangan apa pun tentang kata Tuhan, kecuali menyamakannya
dengan Allah!
Demikian
bila kita bicara asal-usul kata Tuhan, sekadar untuk mengungkapkan bahwa
bekas-bekas penjajahan masih bertebaran dimana-mana, dan banyak diantaranya
yang menjadi warisan abadi bagi bangsa Indonesia.
II. Makna
Tuhan
Selanjutnya,
apa boleh buat, kata Tuhan kita gunakan untuk menerjemahkan kata ilah.
Ilahun,
jamaknya a litahun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan
‘abada,
yaitu
“mengabdi”.
Dengan
demikian ilahun artinya sama dengan ma’budun, “yang diabdi”.
Lawanya
adalah ‘abdun, “yang mengabdi”, atau “hamba”, atau “budak”.
Perhatikan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 133: Tahukah kalian bagaimana sikap Yaqub
ketika menghadapi maut? Ketika itu ia bertanya kepada anak-anaknya, “Apakah
gerangan yang akan menjadi subjek pengabdian kalian setelah aku mati?”
Anak-anaknya menjawab, “Kami akan mengabdi kepada tuhanmu, yang juga merupakan
tuhan leluhurmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, sebagai satu-satunya tuhan.
Kepadanya kami pasrahkan diri.”
Yang
menarik, pada ayat diatas Allah menggunakan kata tanya ma (apa), dan bukan man
(siapa).
Jelas, kata
tanya ma mempunyai jangkauan lebih luas daripada man.
Dalam kata
ma bahkan tercakup man itu sendiri.
Dari sini
kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilah adalah “sesuatu”, bukan hanya
“seseorang”, yang bersifat “memperbudak”, atau “mengendalikan “, atau
“menguasai”.
Jelasnya,
yang berperan sebagai ilah itu tidak terbatas pada sesuatu yang hidup saja,
tapi bisa juga benda (materi) yang mati.
Ini
digambarkan Allah antara lain dalam surat Ali Imran ayat 14:
Dibuat indah
dalam pandangan manusia kecintaan yang sulit dikendalikan (syahwat) terhadap
wanita (=lawan jenis), anak-anak, tumpukan kekayaan berupa emas dan perak, kuda
yang bagus = kendaraan), hewan ternak, dan tanaman (=lahan bisnis). Itu semua
adalah perhiasan kehidupan dunia.
Itu semua adalah
benda-benda yang bisa memperbudak manusia, alias dijadikan tuhan oleh manusia.
Dalam surat
Al-Furqan ayat 43 bahkan Allah menegaskan bahwa manusia juga bisa mempertuhan
hawa nafsunya sendiri.
Selain ilah,
dalam Quran juga terdapat kata rabb yang digunakan untuk menyebut tuhan.
Secara
harfiah rabb berarti “pembimbing”, atau “pengendali”.
Allah adalah
rabb, tapi selain Allah ada pula arbaban min dunillah, yaitu rabb-rabb selain
Allah, diantaranya Quran menyebutkan bahwa Fir’aun menyatakan dirinya sebagai
rabb. (surat An-Nazi’at ayat 24).
Dengan
demikian, kita bisa membuat definisi tentang tuhan, kira-kira demikian: Tuhan
adalah sesuatu yang menguasai dan mengendalikan jiwa manusia, dalam rangka
memperbudaknya.
Ingatlah
bahwa yang dikuasai dan dikendalikan oleh “tuhan”, apa pun atau siapa pun dia,
adalah jiwa manusia.
Dengan
pikiran dan/atau perasaannya itulah manusia melakukan pemandangan dan penilaian
terhadap segala sesuatu, yang akhirnya membuat mereka mengambil keputusan
(kadang dengan sangat cepat) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Sehubungan
dengan inilah, agaknya, dalam kaitanya dengan peristiwa hijrah, Nabi Muhammad
mengatakan bahwa setiap tindakan pasti dilandasi suatu motivasi (niat).
Begitu juga
setiap urusan, pasti ada motivasi yang mendasarinya.
Maka (dalam
kaitanya dengan Hijrah) siapapun yang Hijrahnya bertujuan mematuhi Allah, maka
berarti motivasi hijrahnya adalah ridha Allah.
Sedangkan
yang Hijrahnya karena dunia (rangsangan pragmatis), maka dunia itulah yang akan
diburunya; dan siapa pun yang Hijrahnya karena seorang perempuan atau laki-laki
(nafsu birahi), maka mengawini perempuan/laki-laki itulah tujuannya yang hendak
dicapainya.
Dengan
demikian, setiap diri berhijrah dengan tujuan hijrahnya masing-masing.
Dengan kata
lain, pada saat Hijrah dari Mekkah ke Yatsrib itu, Nabi Muhammad tidak hanya
memimpin orang-orang yang bertuhan Allah, yang pikirannya dan perasaannya
dikuasai dan dikendalikan Allah (melalui WahyuNya) tapi juga ‘terpaksa’ membawa
serta orang orang-orang yang dikuasai dan dikendalikan oleh motifasi lain.
***
1)
Hellenisme, nama untuk kebudayaan, cita-cita dan cara hidup orang Yunani
seperti yang terdapat di Athena di zaman Pericles. Seringkali dibandingkan
dengan kesungguhan kebudayaan Ibrani seperti dilukiskan dalam perjanjian lama.
Hellenisme dalam abad keempat sebelum digantikan oleh kebudayaan Yunani, tetapi
tiap-tiap usaha menghidupkan kembali cita-cita Yunani di zaman modern disebut
Hellenisme. (Ensiklopedi umum, Kanisius, 1990).
* Tulisan
ini merupakan kutipan dari diktat saya, Pengantar Studi Islam, dan pernah
dimuat dalam website yang dibuat teman, yaitu (almarhum):
http://www.tilawah.com
Siapa
Leijdecker?
Di bawah ini
adalah kutipan dari website SarapanPagi Biblika:
Melchior
Leijdecker dilahirkan di Amsterdam, Belanda pada tahun 1645. Dengan latar
belakang pendidikan kedokteran dan teologi, ia datang ke Indonesia pada tahun
1675 sebagai pendeta militer Belanda di Jawa Timur. Sejak tahun 1678 ia menjadi
pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1691,
atas permintaan majelis gereja di Batavia dan disponsori oleh Kompeni (VOC), ia
mulai menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam bahasa Melayu tinggi, yaitu ragam
bahasa yang lazim dipakai untuk menulis buku kesusastraan pada masa itu.
Dalam melaksanakan tugas penerjemahannya Dr. Leijdecker meneliti naskah-naskah Alkitab dalam bahasa-bahasa aslinya, dan dengan tekun ia mencari kata dan istilah bahasa Melayu yang paling tepat untuk mengalihbahasakan naskah Alkitab.
Dalam melaksanakan tugas penerjemahannya Dr. Leijdecker meneliti naskah-naskah Alkitab dalam bahasa-bahasa aslinya, dan dengan tekun ia mencari kata dan istilah bahasa Melayu yang paling tepat untuk mengalihbahasakan naskah Alkitab.
Pada tanggal
16 Maret 1701, Dr. Leijdecker meninggal dunia, dan pekerjaan penerjemahannya
yang telah 90% selesai (sampai dengan Efesus 6:6) dilanjutkan dan diselesaikan
oleh Pdt. Pieter van der Vorm (Efesus 6:7 sampai selesai) pada tahun itu juga.
Akan tetapi terjemahan ini tidak segera dicetak karena ulah Pdt. Francois
Valentyn. Valentyn atas kemauan dan prakarsa sendiri menerjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa Melayu Maluku.
Tetapi terjemahan Pdt. Valentyn tidak mendapat persetujuan Pemerintah Kompeni untuk diterbitkan karena: (a) terjemahannya adalah terjemahan langsung dari Alkitab bahasa Belanda Staten Vertaling, (b) bahasanya bersifat kedaerahan Maluku sehingga sulit dibaca di daerah lain, (c) pemakaian bahasa yang tidak seragam (agaknya terjemahan itu bukanlah hasil karyanya sendiri, tetapi naskah terjemahan yang diperolehnya dari Pdt. Simon de lange yang meninggal dunia di Banda pada tahun 1677).
Tetapi terjemahan Pdt. Valentyn tidak mendapat persetujuan Pemerintah Kompeni untuk diterbitkan karena: (a) terjemahannya adalah terjemahan langsung dari Alkitab bahasa Belanda Staten Vertaling, (b) bahasanya bersifat kedaerahan Maluku sehingga sulit dibaca di daerah lain, (c) pemakaian bahasa yang tidak seragam (agaknya terjemahan itu bukanlah hasil karyanya sendiri, tetapi naskah terjemahan yang diperolehnya dari Pdt. Simon de lange yang meninggal dunia di Banda pada tahun 1677).
Setelah Pdt.
Valentyn meninggal dunia pada tahun 1727, naskah terjemahan Dr. Leijdecker
diteliti oleh suatu team yang terdiri dari Pdt. Pieter van der Vorm dari
Batavia, Gerorge Henric Werndly dari Makassar (sekarang Ujung Pandang),
Engelbertus Cornelis Ninaber dari Ambon, Arnoldus Brants dari Batavia, dan
pakar-pakar bahasa Melayu setempat.
Terjemahan itu dibandingkan dengan naskah bahasa-bahasa asli Alkitab dan dengan terjemahan Alkitab dalam bahasa Arab, Aram (Siria), Latin, Inggris, Jerman, Perancis dan Spanyol. Kemudian diterbitkanlah Perjanjian baru pada tahun 1731 dan Alkitab lengkap pada tahun 1733. Selain edisi huruf Latin yang dicetak di Amsterdam (1733) juga dicetak Alkitab Leijdecker edisi huruf Arab di Batavia pada tahun 1758, karena pada masa itu bahasa Melayu lazim ditulis dengan aksara Arab (di Semenanjung Malaka disebut aksara Jawi) – bahkan di beberapa tempat aksara Arab ini lebih dikenal dari pada aksara Latin. Edisi huruf Arab ini terdiri dari 5 jilid (volume).
Terjemahan itu dibandingkan dengan naskah bahasa-bahasa asli Alkitab dan dengan terjemahan Alkitab dalam bahasa Arab, Aram (Siria), Latin, Inggris, Jerman, Perancis dan Spanyol. Kemudian diterbitkanlah Perjanjian baru pada tahun 1731 dan Alkitab lengkap pada tahun 1733. Selain edisi huruf Latin yang dicetak di Amsterdam (1733) juga dicetak Alkitab Leijdecker edisi huruf Arab di Batavia pada tahun 1758, karena pada masa itu bahasa Melayu lazim ditulis dengan aksara Arab (di Semenanjung Malaka disebut aksara Jawi) – bahkan di beberapa tempat aksara Arab ini lebih dikenal dari pada aksara Latin. Edisi huruf Arab ini terdiri dari 5 jilid (volume).
Walau
terjemahan ini sukar dimengerti sebab menggunakan bahasa Melayu tinggi dan
banyak kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan Persia, terjemahan Leijdecker
telah dipakai di Indonesia dan di semenanjung Malaka selama hampir dua abad. Di
Semenanjung Malaka terjemahan ini terus dipakai sampai tahun 1853. Di
Indonesia, terjemahan Leijdecker masih dicetak ulang pada tahun 1905, 1911, 1916,
yaitu atas permintaan masyarakat Kristen di Maluku.(a.h)