Shaum Sebagai Simbol Kepatuhan
THE JAMBI TIMES - Shaum atau shiyãm (puasa) adalah salah satu ‘bahasa’
simbol (lambang) untuk menyatakan:
1.
Kepatuhan dan kepasrahan sepenuh hati terhadap kehendak (ajaran; konsep)
Allah, yang dilambangkan antara lain melalui kesabaran menunggu muncul atau
tidak munculnya hilãl (bulan sabit tipis). Dalam hal ini, silakan
direnungkan mana yang lebih melambangkan kepasrahan ketika menunggu hilãl,
dengan menggunakan mata telanjang atau memakai teknologi? (Di masa Rasulullah,
semua orang menggunakan mata telanjang; sehingga perbedaan waktu yang bersifat
lokal menjadi sesuatu yang wajar, dan ‘halal’).
2.
Kepatuhan juga harus dibuktikan dengan kesabaran mengikuti perintah yang
(seolah-olah) tidak masuk akal, seperti menahan keinginan untuk minum ketika
haus dan keinginan untuk makan ketika lapar. Dalam shaum, sebenarnya tidak ada
larangan untuk makan-minum; tapi waktu makan-minum itu harus dialihkan ke waktu
yang lain. Ini adalah simbol perintah untuk meninggalkan tradisi lama (iman
bathil), sebagai syarat untuk membangun kebiasaan baru berdasar konsep Allah
(iman haq).
3.
Selain itu, dengan shaum juga Allah mengisyaratkan bahwa dimensi batin
(ruhani), yaitu akal-pikiran yang merupakan wadah ilmu, harus unggul terhadap
dimensi lahir (jasmani), yang merupakan wadah segala bentuk ‘sensasi’ (reaksi
indrawi), yang biasanya mendorong manusia untuk bertidak secara spontan, tanpa
pertimbangan. Sebut saja indra penglihatan (mata), yang cenderung selalu
mencari hal-hal yang secara lahiriah ‘menarik’. Begitu juga telinga, yang
selalu ingin mendengar bukan hanya musik yang merdu, tapi sering juga penasaran
untuk berburu gosip. Tak ketinggalan pula hidung, lidah, dan kulit. Semua
sering bergiliran atau serempak kompak, mendesak manusia berbuat bejat. Ada
kalanya, indra yang dalam bahasa Inggris disebut sensation, mendorong
kita untuk mencari sensasi, berbuat heboh. Supaya dianggap hebat!
4.
Shaum adalah simbol ‘pembunuhan diri’ (egosime; subjektifisme) yang
lengkap. Dalam shaum, badan yang sering dibanggakan keperkasaan dan
keelokannya, ‘dilumpuhkan’ dan dibikin jelek (pucat) karena kekurangan makanan
dan air. Dalam shaum, sang jago berkelahi pun harus mengalah kepada siapa pun
yang menantangnya. Dan orang yang punya mulut yang biasanya cerewet dan bawel
pun harus ingat bahwa kebiasaannya itu harus dihentikan, untuk menjaga agar
nilai shaumnya tidak rusak.
5.
Motifasi (niat) shaum juga harus benar-benar murni lilahi ta’ala, karena shaum
sejati lebih berdimensi batin (ruhani), yang tidak bisa dipamerkan dan atau
diiklankan kepada manusia, sehingga dengan demikian hanya Allah yang bisa
menilainya. (Ingat hadis: Ash-shaumu lii wa Ana ajzi bihi).(ah)