Ramadhan, Bulan Al-Qurãn
Sebelum dikenal sebagai
bulan shiyãm (puasa), para sahabat Rasulullah mengenal bulan Ramadahan sebagai
bulan turunnya (penurunan) Al-Qurãn, petunjuk terakhir dan abadi bagi manusia.
Dan, seperti
ditegaskan oleh Allah sendiri, shiyãm dengan Al-Qurãn adalah dua hal yang tak
terpisahkan:
“Wahai para
mu’min! Diperintahkan shiyãm atas kalian, sebagaimana dulu diperintahkan
terhadap umat (muslim) sebelum kalian. Mudah-mudahan (dengan melaksanakannya)
kalian menjadi orang-orang yang mampu membentengi diri – (dari kehidupan
jahanam; bertakwa).”
“(Yaitu
berpuasalah kalian dalam) hari-hari yang telah ditetapkan (sebulan penuh).
Namun bila di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka lakukanlah
(tebuslah) di hari-hari yang lain (di luar Ramadhan). Dan bagi mereka
yang berat (tak mampu) melaksanakannya (maka mereka wajib membayar) fidyah (dengan
memberi) makanan kepada orang miskin. Tapi siapa yang menguatkan tekad untuk
berbuat baik (berpuasa) maka hal itu lebih baik baginya. Yakni berpuasa itu
memang lebih baik bagi kalian bila kalian memahaminya.
“(Karena)
Bulan Ramadhan adalah bulan turunnya Al-Qurãn, sebagai pemandu hidup bagi
manusia, yang disertai penjelasan (tafsir) bagi pemandu (Al-Huda, Al-Qurãn) itu
sendiri, sehingga ia layak menjadi pemilah (antara haq dan bathil). Maka
(ditegaskan sekali lagi) bila ada orang yang telah menyaksikan (melihat hilal,
yang menandai masuknya) bulan itu (Ramadhan), maka berpuasalah. Tapi bila ada yang
sakit atau dalam perjalanan, maka tunaikanlah di hari-hari yang lain (di luar
Ramadhan). Allah (dengan ajaranNya) selalu menghendaki kemudahan bagi kalian,
tidak menghendaki kesulitan. Yakni (di hari-hari di luar Ramadhan itu)
hendaknya kalian genapkan hitungan (puasa) kalian), demi mengagungkan Allah
berdasar petunjuk hidup yang telah dianugerahkanNya. Yakni agar kalian menjadi
orang-orang berbuat tepat (bersyukur) – (dengan petunjukNya itu). [Al-Baqarah
ayat 183-185].
Penurunan
wahyu dimulai pada bulan Ramadhan. Malam penurunannya itu disebut sebagai lailatin-mubrakãtin
(Ad-Dukhan ayat 2) atau lailatul-qadr(i) (Al-Qadr ayat 1).
Kekuatan,
kejelasan, kesederhanaan, dan keuniversalan pesan (wahyu) yang diturunkan malam
itu, telah mengkukuhkan malam itu sebagai malam yang istimewa.
Dengan 6332
ayat (kalimat) yang tersebar dalam 114 surat (bab), yang dibagi ke dalam tujuh
tahap dan 30 juz (bagian), Al-Qurãn diselesaikan (pewahyuan dan penulisannya
pada media yang tersedia waktu itu) dan disusun (urutannya) di masa Rasulullah
masih hidup, dengan disaksikan banyak orang di sekitar beliau. (Pada saat itu)
Rasulullah menyaksikan dengan mata kepada beliau sendiri, melakukan pengesahan
dan persetujuan tentang kandungan Al-Qurãn, dan tak ada orang lain yang diberi
wewenang untuk itu. Rasulullah sendiri yang
menerakan stempel atas setiap ayat yang diterima dan dituliskan pada saat wahyu
disampaikan.
Dalam salah
satu hadis shahih Bukhari, salah seorang sahabat, Bara’a, menuturkan tentang
penurunan ayat: “Tidaklah sama kaum mu’min yang duduk tanpa uzur dengan para
mujahid fi sablillah yang (berjuang) dengan harta dan nyawa mereka.
Allah melebihkan derajat para mujahid yang mempertaruhkan harta dan jiwa mereka
dari mereka yang duduk. Untuk masing-masing, Allah menjanjikan kebaikan
(imbalan), namun menganugerahkan kepada para mujahid ganjaran yang sangat besar
dibanding dengan mereka yang duduk.” (An-Nisa ayat 95).
Begitu ayat
itu diterima, kata sang penutur, Rasulullah segera memanggil salah seorang
penulis Al-Qurãn, agar membawa tinta, pena, dan lempengan (entah pelepah kurma
atau apa) untuk menuliskan ayat tersebut.
Disebutkan
pula dalam kitab-kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Jami’
At-tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Musdark Hakim, bahwa Utsman bin Affan, khalifah
ketiga, menuturkan bahwa kapan pun ayat diwahyukan, Rasulullah selalu memanggil
para penulis wahyu secepatnya, dan memberi mereka perintah khusus untuk
meletakkan ayat tersebut pada surat tertentu.
Zaid bin
Tsabit mengabarkan, seperti tertulis dalam kitab Shahih Bukhari, bahwa di masa
hidup Rasulullah ada paling sedikit empat orang dari kalangan Anshar (Madinah),
yaitu Abi bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid, dan Abu Zaid, yang memiliki
catatan Al-Qurãn secara keseluruhan. Dikabarkan juga bahwa di Madinah, Abdullah
bin Sa’id bin Al-As, yang merupakan ahli kaligrafi, diberi tugas khusus untuk
mengajarkan penulisan Al-Qurãn kepada penduduk Madinah.
Selain
menggunakan bahan-bahan lain, pada saat itu kertas juga sudah digunakan untuk
menulis Al-Qurãn. Al-Qurãn sendiri menyebut kata kertas sebanyak dua
kali. Yaitu dalam surat Al-An’am ayat 7 (قِرْطَاسٍ), dan 91 (قَرَاطِيسَ). Bahan
dari raqq(un), yaitu lembaran-lembaran dari kulit binatang, termasuk
kulit rusa, juga digunakan.
Di dalam
kitab-kitab hadis, kita temukan sedikitnya 45 orang lagi sahabat Rasulullah
yang dikenal sebagai penulis Al-Qurãn. Mereka adalah:
Aban
Abdur Rahman Abdu Rahman bin Hur bin Umr bin Zaid Abdulla Sa’id bin al As Abdullah bin Arqam Zahri Abdullah bin Rawah Abdullah bin Sa’ad bin Ab Sarh Abdullah bin Zaid Abdullah in Abdullah bin Abi Salul Abu Abas Abu Bakr Abu Yunis Maula ‘A’isyah Ala bin Hadhrami Ali ibn Thalib Asid bin hadhir |
Aus bin Khauli
‘A’isyah bint Abu bakr Fathimah bin Muhammad Hafsah bint Umar Handhala bin Rabi Hundhala al-Asadi Jahim bin al-Salt Khalid bin Sa’id bin al-As Khalid bin Walid Muaqaib bin Fatima Muawiya bin Abi Sufyan Mughairah bin Shaaba Muhammad bin Salmah Munzr bin Umr Nafi bin Tarib bin Umr bin Naufal |
Najiatu Tafawi
Rafi binMalik Sad bin al Rabi Sad bin al-As Sad bin Ibadah Shahar bin Saad Sharjil bin Hasna Ubay ibn Kaab Umar bin al-Khattab Ummi Habibah bint Abi Sufyan Umr bin Al-As Umr bin Rafi Usman bin Affan Zaid bin Thabit Zubair bin Awwam |
Rasulullah
sangat mementingkan pemeliharaan Al-Qurãn dalam tulisan, sampai-sampai pada
waktu beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib, beliau membawa seorang penulis,
lengkap dengan tinta dan penanya.
Allah
sendiri menyebut Al-Qurãn sebagai kitãb(un) atau al-kitãb(u) (yang
sekarang dipahami sebagai buku) sebanyak 230 kali dalam berbagai konteks.
Meski
ditulis dalam banyak buku bahwa Al-Qurãn dalam bentuk seperti sekarang disusun
di masa kekhalifahan Abu Bakar atas desakan Umar, dan kemudian dituntaskan oleh
Utsman bin Affan, jaminan tentang kepastian terpeliharanya Al-Qurãn sudah
ditegaskan antara lain dalam surat Al-Hijr ayat 18 dan Al-Ma’idah ayat 3.
Sangat jelas
bahwa usaha para khalifah untuk menulis ulang Al-Qurãn dari tulisan-tulisan
terdahulu adalah bertujuan untuk menyebarkannya ke dunia Islam. Salah satu
buktinya tertulis dalam Kitãbul-Fisl karya Ibnu Hazm, yang menyebutkan
bahwa pada masa Khalifah Umar ada 100.000 (seratus ribu) jilid Al-Qurãn
tersebar di seluruh wilayah.
Al-Qurãn
menggambarkan dirinya sendiri sebagai sebuah kitab yang menegaskan kesamaannya
dengan kitab-kitab Allah yang diwahyukan kepada para rasul terdahulu, yang
tidak dipelihara oleh umat-umat mereka. Di dalamnya juga ada penegasan bahwa
Al-Qurãn sama revolusionernya dengan kitab-kitab terdahulu dalam hal:
- Konsep monotheisme, dalam arti bahwa sumber ajaran ketuhanan adalah Allah, Sang Penggagas dan pencipta semesta alam,
- Bimbingan dari yang tertinggi dan netral diperlukan oleh manusia untuk menempuh kehidupan yang mudah dan berdisiplin (teratur). Hanya dengan mengikuti bimbingan Allah manusia bisa mendisiplinkan kehidupannya sebagaimana segala makhluk semesta alam sibuk dalam peradaran yang teratur.
- Kehidupan ini adalah evolusi (perubahan bertahap) tanpa henti, dan kematian bukanlah akhir kehidupan tapi perpindahkan ke tahap yang berbeda, tempat setiap orang dan kelompok harus mempertanggung-jawabkan segala perbuatan merek dalam kehidupan di dunia yang sangat terbatas ini.
Mu’jizat
agung Al-Qurãn adalah kesinambungan pembuktian dari setiap ayat dan suratnya.
Keindahan bahasa dan sastranya hanya tampak jelas bagi yang mengerti bidang
itu. Tapi kejelasan dan kesinambungan pesannya bisa dinikmati setiap orang yang
bukan ahli bahasa dan sastra di segala zaman. Dengan kata lain, setiap surat
dalam Al-Qurãn nyambung dengan segala variasi pesan, dan setiap ayat berkaitan
dengan segi tertentu tanpa lepas dari keseluruhan petunjuk.
Sehubungan
dengan itu, bulan Ramadah menawarkan kepada para mu’min sebuah kesempatan unik
untuk menyegarkan pemahaman mereka atas petunjuk Allah ini, dan menumbuhkan
gairah kepatuhan atasnya, sehinga pada bulan-bulan berikutnya mereka dapat
hidup berdisiplin dalam penataannya (Al-Qurãn). Dengan demikian, tugas pertama
bagi setiap mu’min adalah menjalin hubungan dengan Al-Qurãn, secara disiplin,
ajeg (berkesinambungan), dan teratur.
Puasa
melatih seseorang untuk hidup terkendali dan berdisiplin, yang merupakan hal
asasi untuk mengakui kekuatan dan manfaat petunjuk Allah.
Tampak
jelas, kebanyakan Muslim tidak memahami bahasa Al-Qurãn, sehingga sulit bagi
mereka untuk tersentuh ketika Al-Qurãn dibacakan kepada mereka. Lebih-lebih
lagi, mereka terbiasa mendengar ajaran bahwa dengan membaca satu huruf Al-Qurãn
bisa mendapat sepuluh pahala. Ajaran ini seharusnya dipahami bahwa nilai yang
terkandung di dalam wahyu Allah itu sangat tidak terbatas, sehingga dari satu
huruf saja bisa didapatkan (sedikitnya) sepuluh manfaat.
Daripada
hanya mengharapkan pahala dengan membaca Al-Qurãn tanpa memahaminya, lebih baik
kita juga berusaha untuk membaca dan memahaminya. Barangkali dengan demikian jumlah
pahalanya malah berlipat manjadi dua atau tiga kali.
Kebanyakan
dari kita menyediakan waktu untuk memperbaiki pengejaan Al-Qurãn. Itu bagus.
Mengeja huruf dan kata memang harus diusahakan sempurna. Namun, jangn abaikan
tujuan utama membaca Al-Qurãn, yaitu untuk memahaminya, agar dapat hidup
dengannya, sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah.
Di bulan
Ramadhan kita suka menyusun acara buka bareng, yang kadang memboroskan banyak
uang. Ada baiknya untuk melatih kebersamaan. Tapi, akan lebih baik lagi bila
kebersamaan itu kita manfaatkan untuk lebih memokuskan perhatian pada Al-Qurãn,
untuk berusaha membacanya lebih baik, dan memahaminya lebih baik. Dan tentu
saja untuk menyadarinya sebaik-baiknya bahwa perintah berpuasa pada bulan
Ramadhan adalah karena pada bulan ini Al-Qurãn diturunkan.
Pasti ada
kaitan penting antara puasa Ramadhan dengan penurunan Al-Qurãn. Sesuatu yang
tentu harus terus kita beri perhatian.
Saduran
dari: IslamiCity, 29 Juli 2012
artikel Dr.
Aslam Abdullah
Pemimpin
redaksi mingguan Muslim Observer dan direktur Islamic Society of
Nevada.