Ramadhan, Al-Qurãn, Dan Shalat
THE JAMBI TIMES - Bulan Ramadhan disebut
Rasulullah sebagai bulan yang agung dan penuh berkah (manfaat), dan ditegaskan
Allah dalam surat Al-Baqarah 185 sebagai “bulan penurunan Al-Qurãn”.
Tentu yang
dimaksud adalah penurunan sejumlah ayat Al-Qurãn untuk pertama kali, karena
Al-Qurãn secara keseluruhan diturunkan dalam waktu sekitar 23 tahun, yaitu
sejak turunnya 5 ayat surat Al-‘Alaq pada tanggal 17 Ramadhan, bertepatan
dengan 6 Agustus tahun 610 Masehi, sampai menjelang Rasulullah wafat (12
Rabi’ul-Awwal; 8 Juni tahun 632 M).
Menurut
penegasan Allah dalam surat Al-Qadr, Al-Qurãn turun pertama kali di malam hari,
dan saat penurunannya itu disebut sebagai lailatul-qadr. Sedangkan dalam
surat Ad-Dukhan ayat 3 malam itu disebut sebagai lailatin mubãrakatin
(bisa dibaca: laillah mubãrakah).
Dalam surat
Al-Baqarah 185 pula, ditegaskan bahwa Al-Qurãn diturunkan dengan tiga fungsi,
yaitu:
- Sebagai pedoman hidup bagi manusia (هدى للناس);
- Penjelasan (tafsir) bagi Al-Qurãn itu sendiri (بيّنات من الهدى); dan
- Pemilah antara konsep (ajaran) yang benar dan konsep yang salah (فرقان).
Ketiga
fungsi tersebut satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa
dipisah-pisahkan. Uraian singkatnya adalah sebagai berikut:
Al-Qurãn
sebagai pedoman hidup
Al-Qurãn
diturunkan melalui seorang lelaki berhati bersih, yang sangat prihatin dengan
keadaan bangsanya serta bangsa-bangsa di sekitarnya, yang hidup dalam keadaan
saling bermusuhan, tindas menindas, dan cenderung memperbudak pihak yang lemah.
Padahal, mereka mengakui sebagai bangsa-bangsa bertuhan dan beragama. Suku-suku
Yahudi yang tinggal di Yatsrib, misalnya, jelas mengaku bertuhan Allah dan
membanggakan Nabi Ibrahim dan Nabi Musa sebagai bapak moyang dan rasul-rasul
yang diutus Allah kepada mereka. Bangsa Arab sendiri, khususnya suku Quraisy
yang tinggal di Makkah, juga mengaku sebagai pelaksana agama Ibrahim dan
Isma’il. Selain itu, di sekitar mereka ada bangsa Rumawi yang beragama Nasrani
(Kristen), dan ada bangsa Persia yang beragama Majusi.
Kebobrokan
bangsa Arab, serta bangsa-bangsa di sekitarnya, membuat lelaki itu amat sangat
prihatin, dan selalu gelisah, sehingga akhirnya ia sering menyepi di Goa Hira,
sebuah goa yang terletak di sebuah gunung di sebelah utara, sekitar 6 km dari
kota Makkah. Konon, lelaki ini selama beberapa tahun, selalu menyepi di goa
tersebut sepanjang bulan Ramadhan. Sampai akhirnya, suatu malam, ia dibangunkan
oleh Malaikat Jibril yang kemudian mengajarkan Al-Qurãn.
Lelaki itu,
Nabi Muhammad saw, akhirnya merasa lega dan gembira, karena konsep hidup
yang dirindukannya itu telah diajarkan kepadanya oleh Allah, pencipta manusia
dan alam semesta.
Al-Qurãn
sebagai pedoman hidup dari Allah digambarkan oleh beliau dengan kata-kata
sebagai berikut:
…Keunggulan
Kalãmullãh (Al-Qurãn) dibandingkan seluruh kalam (kitab-kitab; buku-buku
karangan manusia) adalah seperti keunggulan Allah dibandingkan dengan seluruh
makhlukNya. (Hadis
riwayat Tirmidzi).[1]
Selain itu,
kata beliau pula:
Telah
diberikan (diajarkan) kepadaku As-Sab’u Thuwal (tujuh surat panjang) sebagai
pengganti Taurat, dan Al-Mi’în (surat-surat 100 ayat) sebagai pengganti
Zabur, dan Al-Matsãnî (surat-surat yang mengandung perulangan tema)
sebagai pengganti Injil, dan aku diberi tambahan dengan Al-Mufasshal (penjelasan,
uraian yang mengingatkan tentang sorga dan neraka). (Hadis riwayat Ahmad).[2]
Melalui
Hadis ini kita mendapat informasi yang sangat berharga; yang mene-gaskah bahwa
sebelum menurunkan Al-Qurãn kepada Nabi Muhammad, Allah pernah menurunkan kitab
Taurat kepada Nabi Musa, kitab Zabur kepada Nabi Daud, dan kitab Injil kepada
Nabi Isa, sebagai pedoman hidup.
Tapi bangsa
Yahudi telah melakukan taktum[3] (menggelapkan) atau yuharrifuna[4] (memutar balik; mengacaukan)
kitab-kitab tersebut. Kitab-kitab Taurat dan Zabur mereka ‘sulap’ menjadi kitab
Perjanjian Lama, dan kitab Injil dijadikan kitab Perjanjian Baru.
Yang disebut
kitab Perjanjian Lama itu sebenarnya bukan sebuah kitab (buku) tapi mencakup 45
buku; dan Perjanjian Baru mencakup 27 buku.[5] Mungkin karena itulah – antara lain
– bangsa Yahudi dijuluki sebagai ahlul-kitãb, jawara alias jagoan
menulis kitab; yang dengan kitab-kitab itu mereka melenyapkan atau mengaburkan
kitab-kitab Allah.
Jadi,
melalui Al-Qurãn, Allah memunculkan kembali kitab-kitabNya yang sudah
dihilangkan Yahudi, dalam kemasan atau susunan yang baru. Kitab ini, Al-Qurãn,
ditegaskan oleh Allah sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi seluruh manusia,
bukan hanya untuk bangsa Arab.
Al-Qurãn
menafsirkan diri sendiri
Ada sebuah
hadis atau perkataan ulama yang berbunyi begini: “Sebenarnya bagian-bagian
(surat, ayat) Al-Qurãn itu satu sama lain saling menafsirkan.”[6]
Pernyataan
ini agaknya hendak menegaskan pernyataan Allah sendiri dalam surat An-Nur ayat
1, bahwa Al-Qurãn berisi ayat-ayat yang saling menafsirkan (men-jelaskan).
Pembuktian
dari pernyataan itu tentu tidak akan kita ketahui bila kita tidak membacanya
dalam bahasa aslinya dalam keadaan kita memahami kata demi kata.
Membaca
sambil memahaminya kata demi kata pun belum cukup, bila kita belum melakukannya
secara sungguh-sungguh dan berulang-ulang, sambil memper-hatikan penggunaan
kata-kata, susunan ayat-ayat, hubungan satu tema dengan tema-tema lain, juga
kaitan antara satu surat dengan surat-surat yang lain. Al-Qurãn adalah ibarat
jutaan helai benang warna-warni yang ditenun menjadi sehelai kain yang indah.
Tepatnya, ‘jutaan helai benang’ itu adalah informasi-informasi yang disusun
Allah sedemikian rupa, membentuk sebuah konsep (gagasan) yang utuh dan menarik.
Anda mungkin
memiliki dan mengagumi sehelai kain yang dihiasi lukisan batik karya Amri
Yahya. Coba bayangkan, apa yang terjadi bila helai demi helai benang dari kain
itu dicabuti? Lukisannya yang indah akan lenyap, dan benang-benangnya akan
beterbangan, atau menyatu jadi segulung benang kusut. Begitu juga halnya
Al-Qurãn, bila informasi-informasinya ‘dicabuti’ secara sembarangan, lalu
ditebarkan secara acak. Keutuhan dan keindahannya pasti lenyap. Karena itulah,
Allah berpesan wanti-wanti agar kita jangan memperlakukan wahyunya seperti
seo-rang wanita penenun mengacak-acak sendiri hasil karyanya:
…Janganlah
kalian berlaku seperti seorang wanita (penenun) yang mengacak-acak benang yang
semula telah disusunnya menjadi tenunan yang kuat …(An-Nahl ayat 92).
Al-Qurãn
memilah benar dan salah
Untuk memilah
mana yang benar dan mana yang salah, Allah memberikan gambaran demikian:
Tantanglah
(Muhammad), “Siapa di antara konco-konco kalian yang meng-arahkan kalian kepada
kebenaran?” Tegaskan (kepada mereka), “Hanya Allah yang mebimbing kepada
kebenaran. Dia yang membimbing pada kebenarankah, atau orang yang hanya dapat
petunjuk karena diberi petunjuk – yang lebih berhak diikuti? Ada apa dengan
kalian? Bagaimana cara kalian menimbang? (Yunus ayat 35).
Melalui ayat
ini Allah menegaskan kepada setiap manusia yang merasa berakal sehat bahwa
sumber kebenaran itu adalah Allah sendiri; sedangkan manusia hanya mengetahui
kebenaran bila diberi tahu oleh Allah, melalui penurunan wahyu. Karena itulah,
wahyu Allah harus dijadikan tolok ukur untuk memilah (membedakan dan memisahkan)
mana yang benar dan mana yang salah.
Lebih jauh,
bila kita sudah mendalami Al-Qurãn, kita akan merasakan sendiri bagaimana cara
Allah membimbing kita untuk benar-benar melakukan pemilahan tersebut. Cara
Allah membimging itu bukan hanya logis (masuk akal), tapi juga sangat menyentuh
perasaan, sehingga manusia yang berhati batu pun – bila mampu memahami –
pastilah bakal menjatuhkan diri di tanah, untuk bersujud sambil mena-ngis!
Shalat
sebagai sarana Qurãnisasi
Tahukah anda
bahwa Allah dan malaikat juga melakukan ‘shalat’ terhadap Nabi dan orang-orang
beriman? Perhatikanlah ayat di bawah ini!
إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا(56)
Sesungguhnya
Allah, melalui malaikatNya, bershalat kepada Nabi (Muhammad). Wahai orang-orang
beriman, bershalat lah kalian kepadanya (Nabi Muham-mad), yakni pasrahkanlah
diri kalian (kepada Allah) sepasrah-pasrahnya.
Ayat
ini benar-benar menegaskan kepada kita bahwa Allah dan malaikat sama-sama
melakukan shalat terhadap Nabi Muhammad dan orang-orang beriman, namun bukan
shalat dalam arti shalat seperti yang kita lakukan setiap hari.
Pada
ayat ini ada kata yushallûna dan shallû, yang berpangkal pada
kata kerja shallã. Masdar (akar kata; kata benda bentukan) dari shallã
adalah shalat(an), dan jamaknya adalah shalawãt.
Apa arti shalat?
Dalam sebuah
Hadis, Rasulullah menyatakan: ash-shalatu hiyad-du’ã’ (shalat itu
– pada hakikatnya – adalah doa). Lantas, apa arti doa?
Doa bisa berarti
permintaan, permohonan; harapan; cita-cita; obsesi, dan bisa juga
berarti ajakan, himbauan, dan sebagainya (= da’wah).
Dengan
demikian, jelaslah bahwa shalat (atau jamaknya shalawat) dalam ayat di atas
bukanlah shalat dalam pengertian ‘ibadah ritual’ yang biasa kita lakukan.
Shalat dalam ayat tersebut adalah “shalat dalam arti umum”, karena mencakup
Allah, malaikat, Nabi, dan orang-orang beriman.
Melalui ayat
ini, kita menadapat informasi bahwa Allah ‘menitipkan’ harap-anNya kepada
orang-orang beriman, melalui malaikat Jibril, agar orang-orang beriman itu
benar-benar pasrah terhadapNya, dengan cara meneladani Nabi Muham-mad saw.
Bentuk konkret (nyata) dan utuh dari harapan Allah itu adalah Al-Qurãn itu
sendiri.
Jadi, dengan
menyambut Al-Qurãn, berarti kita menyambut harapan Allah. Dan – ternyata! –
cara menyambut Al-Qurãn yang terbaik adalah dengan melakukan shalat ritual.
Bagaimana
penjelasannya?
Dalam shalat
ritual, apakah ia disebut shalat fardhu atau sunnah, yang menjadi bacaan
pokoknya adalah Al-Qurãn, terutama surat Al-Fãtihah, yang merupakan induk atau
pokok Al-Qurãn (ummul-qurãn; ummul-kitãb).
Setelah
membaca surat Al-Fãtihah, kita pun membaca surat-surat lain yang kita hafal.
Sebuah Hadis
menegaskan agar kita shalat dengan mengikuti cara Rasulullah saw.[7] Bagaimana cara Rasulullah shalat?
Sebuah Hadis menyebutkan bahwa kaki beliau sering menjadi bengkak karena
shalat. Mengapa? Mungkin hal itu terjadi – menurut Hadis yang lain, karena
beliau sering berdiri lama berdiri dalam shalat. Seberapa lama? Sebuah Hadis
lain menyebutkan bahwa suatu ketika beliau membaca – setelah Al-Fãtihah – surat
Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa, Al-Ma’dah, dan Al-An’am (seluruhnya 947 ayat!)
dalam satu raka’at.
Hal itu
dilakukan beliau dalam shalat malam di bulan Ramadhan. Karena itulah – mungkin
– Rasulullah tidak pernah memimpin shalat malam di masjid, karena umatnya tidak
akan sanggup mengikuti.
Tapi,
meskipun kita tidak akan bisa (?) berbuat seperti Rasulullah itu, apa yang
dilakukan Rasulullah itu jelas mengandung pesan agar kita – dalam shalat-shalat
kita – tidak membaca surat-surat pendek melulu seumur hidup. Kita harus
berusaha agar banyak surat – bila tidak seluruh surat – dalam Al-Qurãn sempat
kita baca dalam shalat. Itulah pembuktian bahwa kita mengakui bahwa Al-Qurãn
sebagai kitab yang paling unggul dibandingkan kitab-kitab karangan manusia. Dan
dengan cara demikian itulah kita – sebenarnya – berusaha melakukan Qurãnisasi
kesadaran. Yaitu memben-tuk kesadaran dengan Al-Qurãn. Itulah yang pasti
menjamin kita menjadi manusia-manusia bermutu menurut Allah.
Semoga kita
termasuk manusia demikian.
Ãmîn, ya
Rabbal ãlamîn!
[1] … فَضْلُ كَلاَمِ اللهِ عَلَى
سَائِرِ الْكَلاَمِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ.
[2] حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ
أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ عَنْ
قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ الْهُذَلِيِّ عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُعْطِيتُ مَكَانَ
التَّوْرَاةِ السَّبْعَ الطُّوَلَ وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الزَّبُورِ الْمَئِينَ
وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الْإِنْجِيلِ الْمَثَانِيَ وَفُضِّلْتُ بِالْمُفَصَّلِ.
[3] Surat Al-Baqarah ayat 42:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ(42)
[4] Surat An-Nisa ayat 46: مِنَ
الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ
سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا
بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا
(46)
[5] Awal Persahabatan dengan Kitab
Suci, hal. 9, cetakan pertama, Kanisius, 1995.
[6] إن القرءات يفسّر بعضه بعضا.
[7] Kata Hadis: shallû kamã
ra-aitumuniî ushallî (shalatlah kalian sebagaimana kalian menyaksikan aku
shalat).(ah)