Periodisasi Ramadhan
MARHABAN
YA RAMADHAN (4)
Kembali
kepada hadis yang anda sebutkan pertama, yang berisi khutbah Rasulullah itu.
Saya sering dengar para mubaligh hanya mengutipnya sebagian, bahkan sebagian
kecil. Tepatnya adalah bagian yang mengatakan bahwa Ramadhan adalah bulan yang
awalnya merupakan rahmat, pertengahannya merupakan ampunan, dan
terakhirnya adalah pembebasan dari siksa neraka. …
Benar.
Inilah yang selanjutnya dijadikan landasan untuk melakukan periodisasi atas
Ramadhan, yaitu menjadi tiga periode yang masing-masing terdiri dari sepuluh
hari, walau kadang Ramadhan itu tidak sampai 30 hari.
Periodisasi
ini biasa kita pahami secara harfiah dan sederhana.
Periode
pertama adalah periode rahmat (kasih sayang), dalam arti selama sepuluh hari
pertama bulan Ramadhan itu Allah menurunkan rahmatNya. Bentuk rahmatnya antara
lain adalah berupa pahala (imbalan) yang berlipat-lipat (hadis di atas menyebut
70 kali lipat) atas setiap amal yang dilakukan.
Periode
kedua adalah periode maghfirah (ampunan), dalam arti pada sepuluh hari kedua
Allah mengampuni dosa orang-orang yang berpuasa.
Periode
ketiga adalah periode pembebasan dari neraka, dalam arti pada saat itu Allah
memberikan jaminan bahwa orang-orang yang berpuasa akan dibebaskan dari azab
neraka di alam akhirat.
Apakah yang
anda uraikan itu bisa dipahami sebagai sebuah dogma?
Selama ini
dalil (keterangan) Hadis tersebut memang selalu dipahami sebagai sebuah dogma.
Sebuah ‘santapan’ (ruhani) yang harus ditelan tanpa perlu dikunyah. Ibarat pil
atau kapsul, biarkanlah masuk lewat mulut, dan selanjutnya biarkan bekerja
sendiri di alam gelap sana (di dalam perut).
Tapi kita
kan tidak sedang bicara tentang pil atau kapsul …
Ya. Kita
sedang membicarakan secuplik hadis, yang tentu mewakili sebuah ajaran, sebuah
konsep.
Dan kita
harus berusaya memahaminya?
Ya. Ada
beberapa petunjuk (indikasi) yang mengisyaratkan bahwa paparan hadis tersebut
bisa (bahkan mungkin harus) dikunyah selumat mungkin. Ada beberapa isyarat
bahwa di dalamnya terkandung makna simbolik. Salah satu indikasi itu adalah
surat Al-Baqarah ayat 185 yang menyebut Ramadhan sebagai bulan turunnya
Al-Qurãn (pertama kali). Fungsi Al-Qurãn, seperti disebut surat Al-Baqarah ayat
2, adalah sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi al-muttaqïn (orang-orang
takwa). Di lain pihak, seperti disebut surat Al-Baqarah ayat 183, puasa Ramadhan
itu sendiri dilakukan dalam rangka membangun takwa.
Jadi, antara
Ramadhan dan Al-Qurãn agaknya tidak bisa dipisahkan?
Benar! Satu
pihak, Al-Qurãn adalah wahyu yang mengandung ajaran (konsep) untuk membangun
ketakwaan. Pihak lainnya, Ramadhan, adalah satu bentangan masa (periode) yang
menjadi sarana bagi pembangunan ketakwaan itu melalui suatu praktik ritual yang
melibatkan ‘ujian’ fisik dan mental. Jelaslah bahwa di antara keduanya,
Al-Qurãn dan Ramadhan, ada sinerji. Ada kekompakan kerja dalam rangka mencapai
satu tujuan (takwa). Dalam tinjauan ilmu pendidikan, Al-Qurãn di satu pihak
bekerja membangun aspek intelektual/kognitif manusia. Di lain pihak, Ramadhan
bekerja membangun sisi emosional/afektifnya.
Lalu, apa
hubungannya dengan rahmat, ampunan, dan pembebasan dari azab neraka itu?
Periodisasi
Ramadhan itu pada hakikatnya menyiratkan sebuah ‘filsafat pembebasan’. Hal itu
jelas terbaca melalui frasa ‘itqun minnãr, alias pembebasan dari neraka. Tentu
dengan catatan bahwa “neraka” di sini jangan cuma dipahami sebagai neraka di
alam baka, tapi juga neraka di masa kita hidup di dunia sekarang ini.
Maksud anda?
Al-Qurãn
jelas mengisyaratkan bahwa neraka bukan hanya “sebuah tempat” tertentu tapi
juga “sebuah keadaan” di tempat mana pun. Dengan kata lain, neraka dalam
Al-Qurãn bisa merupakan kata sifat (dengan pola فعْل). Salah satu isyarat itu,
misalnya, terbaca melalui ayat berikut:
“Di antara
mereka (jama’ah haji) ada yang berdoa, “Wahai Tuhan, perkenankanlah kami
menikmati hasanah di dunia ini dan di akhirat nanti; serta lindungi kami dari
azab neraka.” (Al-Baqarah ayat 201).
Ayat ini
dengan jelas menyebut hasanah (kebaikan; kehidupan yang baik) sebagai lawan
(antonim) dari an-nãr(u), yang biasa kita terjemahkan sebagai neraka. Padahal,
secara harfiah, antonim dari hasanah adalah sayyi’ah. Sementara antonim dari
an-nãr(u) adalah al-jannah, yang biasa kita artikan sorga.
Penyebutan
hasanah di dunia dan di akhirat menjadi isyarat bahwa neraka pun bukan hanya
ada di akhirat nanti tapi juga di dunia sekarang ini. Secara harfiah, an-nãr
berarti api. Tapi dalam konteks ayat di atas, yang menyebut an-nãr sebagai
kebalikan dari hasanah, maka makna (istilahinya) yang benar (sesuai konteks
ayat) adalah keburukan, alias kehidupan yang buruk (sayyi’ah).
Selama ini
saya mengetahui, dengan cara mendengar dan membaca, bahwa nereka itu cuma ada
di akhirat nanti. Dan yang dimaksud neraka itu adalah api yang membakar
orang-orang berdosa. Selain itu, ada juga siksaan-siksaan dalam bentuk lain.
Tapi anda mengatakan, berdasar ayat yang anda sebut, bahwa di dunia ini juga
ada nereka. Jelasnya, neraka yang anda maksud itu dalam artian harfiah atau kiasan?
Tadi saya
katakan bahwa dalam konteks surat Al-Baqarah ayat 201 neraka (an-nãru) itu
adalah kebalikan dari al-hasanah. Bila al-hasanah adalah “kehidupan yang
baik”, maka otomatis an-nãru adalah “kehidupan yang buruk”.
Nah!
Gambaran kehidupan yang buruk itu, di dunia ini maksud saya, seperti apa?
Kehidupan
yang buruk (neraka dunia) itu digambarkan seorang ustadz demikian: “Setiap
manusia dewasa ini dihadapkan pada kenyataan sosial dalam bentuk
sosial-piramid. Yaitu gambaran keadaan di mana di atas pundak si tidak punya
(buruh) duduklah si punya (the haves, orang kaya), dan di atas si punya
duduklah golongan yang berkuasa, dan di atas semuanya duduklah seorang yang
mahakuasa. Suatu gambaran exploitation of men by men. Keadaan demikian berlaku
di seantero permukaan bumi, sejak zaman pra sejarah sampai sekarang ini, di
dalam Benteng Dunia Merdeka, di belakang Tirai Besi, dan di setiap kehidupan
nasional, di mana setiap manusia di abad ini berharap-harap cemas menanti
perbaikan dan penyelesaian (solusi).”
Allah,
melalui Al-Qurãn, memberikan jawaban bahwa “pembebasan dari kehidupan yang
buruk” (= ‘itqun minannãr) adalah rahmat dan maghfirah Allah.(ah)