Lailatul-Qadr Alias Lailatul-Qurãn, Mengantar Terbitnya Fajar Peradaban
THE JAMBI TIMES - BEKASI - Kalau tak salah, dalam khutbah Rasulullah itu disebutkan
bahwa di bulan Ramadhan ada satu malam yang lebih baik dari seribu
bulan. Apakah yang dimaksud itu lailatul-qadr?
Benar.
Terus terang, dari kecil sampai sekarang, saya belum juga mengerti apa yang disebut lailatul-qadr itu.
Secara harfiah, lailatul-qadr ada-lah sebuah istilah yang terdiri dari kata majemuk, gabungan dari kata lailatun dan al-qadru. Ketika dua kata ini digabungkan, bunyinya menjadi lailatul-qadri, yang bisa juga dibaca lailatul-qadr. Kata yang pertama, lailatun, yang bisa juga diucapkan lailah, artinya adalah “malam”. Sedangkan al-qadru
adalah kata benda definitif; gabungan kata sandang “al” dengan kata
benda ”qadrun”. Arti kata “qadrun” antara lain adalah kadar, cakupan,
kuantitas, jumlah, skala, tingkat, ukuran, nomor. Bisa juga berarti
nilai, pangkat, dsb. Juga bisa berarti ketetapan, ketentuan, kepastian,
nasib, dsb.
Wah, kalau arti kata qadrun itu begitu banyak, lalu lailatul-qadr itu artinya apa doong? Saya jadi bingung.
Kalau yang anda ingat adalah berbagai cerita orang
tentang lailatul-qadr, yang simpang siur tak keruan, memang anda bisa
menjadi bingung. Tapi bila kita kembali ke sumbernya, kebingungan itu
pasti hilang.
Nah, justru itulah masalahnya. Saya tidak tahu sumber cerita-cerita itu.
Yang saya maksud bukan sumber cerita-cerita itu,
tapi sumber istilah lailatul-qadr, yaitu Al-Qurãn. Tepatnya surat
Al-Qadr, surat ke-97. Anda pasti sudah hafal surat itu kan?
Kalau cuma sekadar hafal sih, ya sudah hafal sejak kecil. Tapi kalau ditanya pengertiannya, sampai sekarang pun saya belum tahu!
Ha-ha! Kebanyakan memang begitu sih. Tapi,
mudah-mudah setelah kita berdialog ini anda akan cukup mengerti. Coba
kita perhatikan surat itu!
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1) وَمَا
أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ(2)لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ
أَلْفِ شَهْرٍ(3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ
رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ(4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ(5)
1.Sesungguhnya Kami (Allah melalui malaikatNya) menurunkan dia (Al-Qurãn) pada Lailatul-Qadr.
2.Tahukah kamu apa itu Lailatul-Qadr?
3.Lailatul-Qadr itu lebih baik dari seribu bulan.
4.Pada waktu itu turun Malaikat bersama Ar-Rûh, yang berisi informasi Tuhan mereka tentang segala urusan.
5.Itulah (malam) keselamatan, sehingga (Lailatul-Qadr) itu menjadi momentum terbitnya fajar (kebenaran).
Dalam terjemahan itu, mengapa anda tidak menerjemahkan istilah lailatul-qadr?
Tadi sudah saya jelaskan; lailah berartri malam, dan al-qadru mempunyai banyak pengertian, yang semuanya bisa anda pasangkan dengan pengertian lailah. Semua tidak akan salah sejauh itu masih berhubungan dengan sifat Al-Qurãn.
Jadi, maksud anda, al-qadru itu adalah sifat Al-Qurãn?
Ya. Berdasar kenyataan bahwa yang diturunkan pada “malam” itu adalah Al-Qurãn. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa al-qadru itu adalah salah satu sebutan atau nama Al-Qurãn.
Alasannya?
Para ulama menamai Al-Qurãn dengan kata-kata yang
menggambarkan isi, fungsi, dan sifat Al-Qurãn. Imam As-Suyuti, misalnya,
menye-butkan 50 nama. Abul Ma’ali 55 nama. Abul Hasan Al-harali 90
nama. Sebagian dari nama-nama itu mereka ambil dari Al-Qurãn sendiri,
yang lainnya dari Hadis.[1]
Tapi, apakah istilah al-qadru dalam surat ini memang bisa dianggap sebagai nama Al-Qurãn?
Kita bisa memastikannya melalui surat itu sendiri.
Coba perhatikan lagi terjemahan yang saya ajukan. Lebih dulu, coba anda
perhatikan juga kata ar-rûh pada ayat ke-4. Bila anda hubungkan ini dengan surat Asy-Syura ayat 52, maka ar-rûh ini adalah Al-Qurãn. Dep-Ag pun mengakui hal itu.
Jadi, dalam surat ini ada dua istilah yang berarti Al-Qurãn, yaitu ar-rûh dan al-qadru?
Ya. Sekarang, mari kita lakukan ‘percobaan’ sebagai berikut. Kita ganti kata al-qadru dan ar-rûh dalam surat ini dengan Al-Qurãn. Perhatikan!
1.Sesungguhnya Kami (Allah melalui malaikatNya) menurunkan dia (Al-Qurãn) pada Lailatul-Qurãn.
2.Tahukah kamu apa itu Lailatul-Qurãn?
3.Lailatul-Qurãn itu lebih baik dari seribu bulan.
4.Pada waktu itu turun Malaikat bersama Al-Qurãn, yang berisi informasi Tuhan mereka tentang segala urusan.
5.Itulah (malam) keselamatan, sehingga (Lailatul-Qurãn) itu menjadi momentum terbitnya fajar (kebenaran).
Waah, ini tafsir model baru ya?
Bukan. Ini namanya tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn.
Sebenarnya ini tafsir cara lama, tapi mungkin sudah dilupakan orang,
karena orang lebih suka menafsirkan Al-Qurãn dengan cara mereka
masing-masing.
Jadi, melalui penafsiran ini, jelaslah bahwa lailatul-qadr itu adalah lailatul-qurãn, alias malam turunnya Al-Qurãn?
Ya. Jelas sekali. Bukankah surat Al-Baqarah ayat 185
menegaskan bahwa Al-Qurãn diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan seiring
dengan itu, ada sejumlah Hadis yang menyebutkan bahwa lailatul-qadr itu terdapat di bulan Ramadhan?
Ya. Tapi, saya belum bisa menerima menerima dengan mantap bahwa al-qadr itu identik dengan Al-Qurãn.
Kalau begitu, mari kita periksa surat Ad-Dukhan ayat 1 sampai 6.
Baik!
حم(1)وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ(2)إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ(3)فِيهَا يُفْرَقُ
كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ(4)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا
مُرْسِلِينَ(5)رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ(6)
Hã-mîm. (Yakni inilah) Al-Kitãb sang pemberi penjelasan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada lailah mubãrakah.
Sesungguhnya (dengan penurunan Al-Kitãb ini) kami tegaskan bahwa Kami
adalah pemberi peringatan. Pada malam (penurunan Al-Kitãb) itu, segala
perkara benar-benar dipilah berdasar prinsip hukum. (Al-Kitãb inilah)
perkara (missi) dari Kami; menjadi penegas bahwa Kami adalah pengutus
para rasul. (Al-Kitãb inilah) anugerah dari Tuhanmu. Dia (dengan
Al-Kitãb ini) adalah pementuk tanggapan (persepsi) ilmiah yang tiada
tanding.
Perhatikanlah satu frasa penting dalam ayat ini:
inna anzalnã-hu fî lailatin mubãrakatin.
Susunannya sangat mirip dengan
inna anzalnãhu fî lailatil-qadr. Dan perhatikan pula bahwa kata ganti
nama hu (= huwa: dia) dalam ayat ini adalah pengganti bagi kata benda
yang sudah disebut sebelumnya, yaitu Al-Kitãb. Anda tahu yang di-maksud Al-Kitãb ini apa?
Tentunya Al-Qurãn kan?
Ya! Kemudian, perhatikan pula istilah lailatin mubãrakatin di sini, yang jelas ditempatkan sebagai ‘si-nonim’ dari lailatul-qadri.
Sinonim?
Maksud saya mengacu pada pengertian yang sama. Yaitu momentum penurunan Al-Qurãn alias Al-Kitãb. Momentumnya adalah lailatun atau lailah, yang berarti “malam”. Kemudian, kata ini dibatasi atau didefinitifkan dengan al-qadr pada surat Al-Qadr, dan dengan mubãrakatin pada surat Ad-Dukhan. Kedua kata ini, al-qadr dan mubãrakatin, sama-sama menggambarkan keadaan atau sifat Al-Qurãn, yang dalam surat Ad-Dukhan disebut dengan istilah Al-Kitãb.
Wah, rumit juga ya?
Sebenarnya tidak, bila kita sudah terbiasa membaca Al-Qurãn, mengikuti gaya tuturnya, dan mengecap rasa bahasanya.
Dan untuk itu tentu harus belajar di pesantren atau di perguruan tinggi agama?
Salah! Pesantren maupun perguruan tinggi agama,
sayangnya, tidak mengarahkan kita ke sana; walau mungkin dapat
mengantarkan, secara tidak langsung. Maksud saya, beberapa ilmu yang
kita dapat di sana memang bisa menjadi alat untuk memahami Al-Qurtãn.
Namun, menghayati Al-Qurtãn hanya dapat dilakukan dengan mengakrabi
Al-Qurtãn itu sendiri, secara tekun, dan penuh minat untuk menyerap
petunjuk Allah.
Jelasnya, ilmu apa saja yang bisa membantu kita memahami Al-Qurtãn itu?
Secara umum, sebenarya semua ilmu bisa membantu kita
untuk memahami Al-Qurtãn. Tapi, yang jelas membantu secara langsung dan
mendasar adalah ilmu bahasa, mulai dari sharaf, nahwu, balaghah, dan
sebagainya. Tapi, ilmu-ilmu ini pun tidak akan terlalu membantu bila
kita tidak memahami the special form of idea dari Al-Qurtãn itu sendiri.
Wah, apa pula itu?
Ha-ha! Itu istilah filsafat, yang kata orang
merupakan induk segala ilmu. Intinya – katakanlah melalui filsafat ilmu
– setiap ilmu dibedakan dari ilmu-ilmu yang lain berdasar ciri khas gagasannya, alias special form of idea-nya.
Dalam konteks filsafat, anda bisa memilah-milah setiap special form of
idea berdasar nama-nama para filsufnya, yang biasanya mewakili
aliran-aliran filsafat tertentu. Nah! Al-Qurtãn sebagai sebuah ilmu –
dari Allah – itu juga mempunyai special form of idea yang unik. Ba-asa
Al-Qurtãnnya laisa kamitslihi syai`un, seperti halnya diri Allah sendiri, tak ada sesuatu pun yang menyamaiNya!
Wah, itu sangat menarik! Di mana saya bisa mempelajarinya?
Di pesantren atau perguruan tinggi, rasanya, belum diajarkan. Atau, barangkali, belum dielaborasi.
Anda bisa mengajarkannya kepada saya?
Insya-Allah! Tapi, sekarang kita kembali dulu pada masalah lailatul-qadr.
Ya, ya. Saya sudah menangkap bahwa lailatul-qadr itu
sama dengan lailatin mubãrakatin, yang keduanya – pada akhirnya – bisa
ditegaskan sebagai lailatul-qurãn.
Tepat.
Dan lailatul-qadr, atau lailatul-qurãn yang ada di bulan Ramadhan itu, dikatakan lebih baik dari seribu bulan. Maksudnya apa?
Ini berkaitan dengan sejarah peradaban manusia. Bila
ditinjau dari sudut pandang Al-Qurãn, sejarah peradaban itu sama dengan
sejarah iman. Yaitu perjalanan iman dari masa ke masa, yang mengalami
naik, turun, bahkan musnah. Yang saya maksud dengan iman
di sini adalah “sebentuk peradaban yang dibangun oleh para rasul Allah,
mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, berdasar the special form of
idea (wahyu) dari Allah.
Jadi, anda ingin mengatakan bahwa para rasul itu adalah
para pembangun bentuk peradaban tertentu, yang berbeda dengan
peradaban-peradaban yang lain?
Ya. Saya kira itu jelas sekali kan? Bila anda
mempelajari sejarah Nabi Muhammad, misalnya, kan jelas sekali bahwa
beliau memimpin terbentuknya sebuah peradaban baru – katakanlah – yang
berbeda dengan peradaban Arab jahiliyah; dan juga berbeda deng-n
peradaban Yahudi, Romawi, dan Persia.
Hm, ya. Saya mengerti maksud anda. Lalu apa hubungannya dengan ayat tadi? Maksud saya dengan lailatul-qadr yang katanya lebih baik dari seribu bulan itu!
Bila berhitung soal waktu, seribu bulan itu kan
sekitar 83 tahun. Kalau kita bulatkan menjadi 100 tahun, maka seribu
bulan itu sama dengan satu abad. Kemudian, bila dikaitkan dengan usia
manusia, satu abad itu kan sama dengan masa kelahiran dua generasi.
Setiap generasi, kata Rasulullah, lahir dalam keadaan fithrah; yang oleh surat An-Nahl ayat 78 dit-gaskan bahwa fithrah
ini artinya tidak tahu apa-apa. Nah! Generasi (bayi) yang tidak tahu
apa-apa itu kemudian dibentuk oleh kedua orangtuanya, atau
lingkungannya, menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.
Wah, jadi menyinggung agama lain nih!
Ini pembicaraan ilmiah, bukan pergunjingan. Kita
bicara Yahudi, Nasrani, Majusi, atau apa pun lewat sudut pandang
Rasulullah, yang tentu tidak bertentangan dengan wahyu. Rasulullah (Nabi
Muhammad) diutus untuk menjelaskan bahwa ajaran Yahudi, Nas-ani, dan
Majusi itu salah menurut sudut pandang wahyu yang diterimanya. Ini kan
bisa dianggap sebagai asumsi ilmiah toh? Artinya, benar atau salahnya
asumsi ini kan bisa diverifikasi secara ilmiah, bukan ditanggapi secara
emosional. Begitu juga dengan pernyataan siapa pun tentang Nabi
Muhammad. Jangan dianggap penghinaan. Anggap saja tantangan ilmiah, bagi
kita dan bagi pihak yang melontarkan sendiri. Itu adalah tantangan bagi
siapa pun yang berpikir ilmiah, untuk melakukan verifikasi ilmiah.
Supaya masalahnya jelas secara ilmiah, gitu lho.
Benar juga. Supaya kita tidak selalu menanggapi sesuatu
secara emosional ya? Tapi, wah jadi melantur nih! Kembali ke ayat tadi
deh!
Ya. Jadi, ayat tadi itu bermaksud memberikan
perbandingan bahwa masa seribu bulan, atau seabad, atau dua generasi,
atau bahkan seratus abad sekalipun, yang di dalamnya kosong dari
petunjuk Allah (khaliyatun minal-huda), walaupun di
sana ada prestasi-prestasi ilmiah, ada pencapaian-pencapaian teknologi
tinggi dan sebagainya, itu semua tetap tidak berarti. Dengan demikian,
dalam pandangan Allah, turunnya wahyu itu lebih baik dari ‘seribu
bulan’, karena dengan wahyu itulah manusia baru bisa membangun sebuah
peradaban yang baik dan benar menurut Allah.
O, begitu ya? Menarik. Tapi, tunggu dulu! Rasanya saya
juga pernah membaca, atau mendengar penafsiran lain tentang ayat itu
dari seseorang. Di situ dikatakan, atau saya dengar, bahwa seribu bulan
itu berarti seribu sarjana. Maksudnya, Al-Qurãn itu lebih hebat dari
karya seribu sarjana. Bagaimana pandangan anda?
Dalam kebiasaan orang Arab, orang pintar – atau
sarjana dalam istilah kita sekarang – memang sering disebut sebagai
bulan atau bintang. Rasulullah sendiri menyebut para sahabatnya sebagai
bintang (Inna ashhaãbi kan-nujûm…). Dalam syair Barjanzi, kalau tak salah, Rasulullah sendiri disapa dengan anta syamsun, anta badrun, anta nûrun fawqa nûrin (anda adalah matahari, bulan, cahaya atas cahaya).
Perhatikanlah bahwa kata-kata syamsun, badrun, nûrun atau nûrin itu semua mengacu pada benda atau zat. Tapi kata syahrin dalam ayat lailatul-qadri khairun min alfi syah-rin itu mengacu pada waktu. Jelasnya, badrun adalah “bulan” dalam arti benda angkasa yang memantulkan cahaya matahari ke bumi. Sedangkan syahrin atau syahrun adalah “bulan” dalam arti sejumlah waktu (satuan waktu).
Dalam teori ilmu balaghah (sastra; stilistik), satu
benda yang kita kenal dengan baik dapat digunakan untuk menggambarkan
benda yang belum dikenal, misalnya bola digunakan untuk menggambarkan
bumi. Bola dengan bumi itu sebenarnya tidak sama persis, tapi di antara
keduanya ada segi atau aspek kesamaan, yaitu bentuknya yang bulat.
Begitu juga ketika Nabi Muhammad disebut (diibaratkan) sebagai bulan
(badrun), kita tahu bahwa bulan tidak sama dengan Nabi Muhammad, tapi di
antara keduanya ada kesamaan, yaitu bersifat menerangi, walau yang satu
(bulan) menerangi dengan zat bernama sinar, dan yang lain (Nabi
Muhammad) menerangi dengan ilmu (wahyu).
Ayat lailatul-qadri khairun min alfi syahrin,
itu jelas sekali bukan kalimat perumpamaan, tapi perbandingan. Allah
memperbandingkan keadaan “dua waktu”, yaitu “waktu satu malam” dengan
“waktu seribu bulan”. Yang pertama adalah waktu yang di dalamnya ada
Al-Qurãn, dan yang kedua adalah waktu yang di dalamnya tidak ada
Al-Qurãn. Yang pertama itu khair(un) (lebih baik) daripada yang kedua.
Jadi, dengan kata lain, perbandingan ini menyatakan bahwa yang sedikit lebih baik dari yang banyak?
Ya. Karena yang sedikit itu berbobot, sedangkan yang
banyak itu hampa. Jadi, penilaian tidak diletakkan pada kuantitas
(bilangan) tapi pada kualitas (mutu). Sebagai analogi, bandingkanlah
antara sehari ketika bangsa kita melakukan Proklamasi kemerdekaan, dengan 350 tahun ketika kita dalam penjajahan Belanda. Mana yang lebih baik, yang sehari atau yang 350 tahun?
Tentu saja yang sehari!
Mengapa?
Karena di situ ada Proklamasi kemerdekaan.
Tepat. Jadi, Proklamasi kemerdekaan itu membuat satu
hari menjadi lebih baik dari 350 tahun penjajahan. Begitu juga halnya
Al-Qurãn. Ia membuat satu malam menjadi lebih baik dari seribu bulan.
Oh! Jadi, turunnya Al-Qurãn itu ibarat sebuah proklamasi kemerdekaan ya?
Ya. Penurunannya yang pertama adalah proklamasi.
Selanjutnya, Al-Qurãn secara keseluruhan adalah sebuah konsep
pembebasan, yaitu pembebasan dari segala bentuk ‘kegelapan’.
(li-yukhrijakum mina-zhu-lumati ila-nuri).[2]
Bisa dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan kegelapan itu?
Dari sudut ilmiah, kegelapan itu bisa berarti
kebodohan. Dari sudut budaya, bisa berarti kebiadaban. Dari sudut
politik, bisa berarti tirani. Dari sudut ekonomi, bisa berarti eksploitasion d’lhome par l’home, homo homini lupus (pemerasan manusia atas manusia, manusia menjadi serigala bagi sesamanya), dan sebagainya.
Wah! Jadi semakin jelas bagi saya bahwa turunnya Al-Qurãn itu memang lebih baik dari seribu bulan ya?
Ya. Tapi itu hanya terjadi di masa Rasulullah dan
para Sahabat. Setelah itu, umat Islam pun menjadi bodoh, biadab,
tiranis, dan saling ‘memakan’ sesamanya!
Maksud anda?
Bacalah sejarah umat Islam. Titik awalnya Arab
Jahiliyah, dicerahkan Allah dengan penurunan Al-Qurãn, Al-Qurãn tumbuh
menjadi peradaban pada periode da’wah Rasulullah yang kedua (Madinah),
dilanjutkan oleh keempat sahabat beliau, yang mulai digerogoti oleh
‘rayap-rayap’ Jahiliyah lagi, sampai kemudian muncul Muawiyyah – sang
jagal keluarga Rasulullah – menjadi khalifah dengan gaya raja Romawi,
dan seterusnya dinasti demi dinasti tumbuh saling menyusul, saling
‘sikat’ satu dengan yang lain… sampai kemudian mereka merambah dunia
Eropa, lalu timbul Perang Salib, dan akhirnya umat Islam terpuruk dikaki
para penjajah Kristen sampai sekarang!
Lho, bukankah yang anda sebutkan itu, sebagian, merupakan sejarah kegemilangan umat Islam?
Saya setuju bila kegemilangan itu diberi tanda
kutip. Artinya, memang benar bahwa agama Islam tersebar ke berbagai
penjuru dunia, sampai merambah dunia Kristen Eropa, bahkan membantu
mencerahkan mereka juga, menjadi pemicu apa yang disebut Renaissance itu
kan?
Saya kurang memahami ada yang disebut Renaissance itu.
Itu adalah istilah untuk menyebut peristiwa kebangkitan peradaban
Yunani di Eropa pada abad 14-16, terutama di bidang kesenian dan
literatur. Hal itu terjadi setelah bangsa-bangsa Eropa
tenggelam dalam masa-masa yang mereka sebut abad-abad kegelapan (dark
ages), saat mereka terpuruk di bawah kekuasaan Gereja yang mencengkam
masyarakat dengan takhyul dan sihir. Dengan kata lain, Renaissance itu sebenarnya merupakan peristiwa pemberontakan para seniman, sastrawan, dan ilmuwan terhadap kekuasaan Gereja.
Lalu, apa hubungannya dengan umat Islam?
Pada saat itulah umat Islam masuk ke Eropa, menyebarkan Islam,
dan kemudian juga para cendekiawannya beramai-ramai mempelajari
buku-buku filsafat Yunani, yang kemudian mereka terjemahkan dan
menafsirkan dalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa Eropa. Anda tentu ingat
nama-nama seperti Alkindi, Alfarabi, Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusydi
(Averroes), Al-Ghazali. Mereka ini berpengaruh di dunia Eropa. Mereka
mendapat kedudukan terhormat bukan hanya karena pengetahuan mereka
tentang filsafat Islam, tapi juga karena mereka sangat tolerant dan welcome
terhadap perpustakaan Yunani. Banyak kepustakaan Yunani dibakar orang
Katolik, karena dianggap mengandung bid’ah. Sebaliknya, para cendekiawan
dan pujangga Islam bukan hanya memelihara kepustakaan itu dengan baik,
tapi juga menekuni, sehingga mereka menjadi pakar. Ibnu Rusydi,
misalnya, yang hidup di Spanyol sekitar tahun 1150 M, terkenal sebagai
penafsir (komentator) Aristoteles. Jadi, para cendekiawan muslim masa
itu telah menyelamatkan kekayaan intelektual Yunani, sekaligus
merangsang orang Barat sendiri untuk kembali menekuninya. Jadi, menurut
saya, orang Barat itu sebenarnya diyunanikan kembali oleh para
cendekiawan muslim!
Ck-ck! Hebat sekali para cendekiawan muslim itu ya?
Ya. Tapi jangan pula melupakan ironi di balik itu!
Maksud anda?
Para cendekiawan muslim itu bukan hanya berjasa membuat orang
Barat kembali kepada warisan intelektual dan budaya nenek moyang mereka
(Yunani), yang kadang disebut sebagai Helenisme itu; tapi – seiring
dengan itu – mereka juga ikut menyerap Helenisme itu ke dalam kesadaran
intelektual mereka, dan kemudian menulari umat Islam secara keseluruhan.
Jelasnya, ketekunan mereka mempelajari, menerjemahkan, dan menafsirkan
filsafat Yunani, telah secara langsung menjadi anak sungai yang
mengalirkan filsafat Yunani ke dunia Islam.
Apakah itu berarti buruk?
Ingat kembali pada pembicaraan kita tentang special form of idea! Bagi umat Islam, Al-Qurãn itulah the special form of idea mereka.
Mereka tidak boleh menyimpang atau mengabaikan itu, bila ingin tetap
menjadi muslim yang hakiki. Manakala mereka terpikat oleh berbagai idea lain, maka bangunan kesadaran mereka yang asli, yang Qurãni, pasti hancur kan?
O, begitu ya? Karena itu umat Islam jadi mundur ya? Saya jadi ingat
kata-kata … siapa ya?
Muhammad Abduh, kalau tak salah; yang mengatakan
bahwa umat Islam menjadi mundur karena meninggalkan agamanya?
Tepatnya dia bilang: tarakal-masihiyuna adyanahum, fa-taqaddama. Wa tarakal-muslimuna dinahum, fa-ta`akhkhara.
Kaum Masehi (Kristen) meninggalkan agama-agama mereka, sehingga mereka
jadi maju. Dan kaum muslimin meninggalkan pula agama mereka, sehingga
menjadi mundur.
Kalau memperhatikan uraian anda, umat Islam menjadi mundur justru karena menginggalkan Al-Qurãn, untuk memburu filsafat Yunani?
Begitulah, kira-kira.
Wadduh! Saya jadi sedih nih.
Kita semua memang layak bersedih. Tapi kenyataan ini
juga suatu tantangan yang harus kita jawab. Atau suatu ujian yang harus
kita selesaikan secara konkret.
Maksud anda?
Ini tantangan Allah. Ujian Allah, untuk membuktikan
apakah kita ini benar-benar ingin menjadi hambanya atau cuma mengaku-aku
saja. Tantangan itu, ujian itu, bermula dari penurunan Al-Qurãn sebagai
the special form of idea, sebagai konsep peradaban yang tidak hanya
unik, tapi juga bisa menjadi solusi bagi masalah dunia sekarang.
Perhatikanlah bagian akhir dari surat Al-Qadr itu.
Di situ diisyaratkan bahwa Al-Qurãn diturunkan sebagai konsep
perdamaian, yang penurunan pertamanya di malam hari bulan Ramadhan itu
adalah ibarat fajar yang mengawali terkuaknya hari baru, zaman baru,
peradaban baru. Sebuah peradaban yang membawa missi perdamaian (salãm) bagi dunia.
Tapi, tampaknya, sekarang kita harus memulainya dari awal lagi ya?
Ya. Bahkan harus mulai dari usaha untuk memahami
Al-Qurãn sebagai the special form of idea. Berarti harus mulai dari
usaha penegakan Al-Qurãn sebagai sebuah sistem filsafat, sebagai sebuah
landasan berpikir ilmiah, sehingga bisa mencerahkan kita semua. Itulah
yang bisa muncul sebagai ‘fajar’ yang mengawali tegaknya sebuah
peradaban baru. Peradaban Al-Qurãn.
Itu pesan yang tersirat dari surat Al-Qadr ya?
Persis! You get the point!
Ya, ya. Terimakasih anda telah mengingatkan saya tentang
hal itu. Tapi, bagaimana pula pandangan anda tentang lailatul-qadr
yang katanya bisa ditemui pada malam-malam ganjil di setiap akhir bulan
Ramadhan?
Kita baru saja membahas sebuah surat pendek, yang
diperkuat serangkaian ayat dari sebuah surat panjang, yang begitu
gamblang menggambarkan apa itu lailatul-qadr. Memang
ada beberapa Hadis seperti yang anda sebutkan itu. Tapi, bila kita sudah
mendapat gambaran yang jelas dari Al-Qurãn, perlukan kita mengambil
dalil dari Hadis yang tampaknya bahkan bertentangan dengan Al-Qurãn itu
sendiri?
Lho, memangnya Hadis-hadis tentang lailatul-qadr itu bertentangan dengan Al-Qurãn?
Perhatikan saja! Al-Qurãn menegaskan bahwa lailatul-qadr hanya terjadi sekali, yaitu pada saat Al-Qurãn pertama kali diturunkan. Tapi Hadis-hadis itu menyebutkan bahwa lailatul-qadr
terjadi berulang-ulang setiap tahun, pada hari-hari yang tidak bisa
ditebak oleh kita. Itu yang pertama.
Yang kedua, Al-Qurãn menegaskan
bahwa lailatul-qadr itu adalah sebuah masa, sebuah
momentum penurunan sebuah konsep peradaban, yang akan membawa manusia
pada kehidupan yang serba jelas dan pasti. Sedangkan Hadis-hadis itu,
semua tampak seperti mengarahkan kita pada ketidak-pastian, pada
teka-teki, spekulasi, bahkan khayalan. Itu sama sekali tidak
mencerminkan ajaran Islam.
Apakah anda hendak mengatakan bahwa Hadis-hadis itu palsu?
Saya belum mengatakan demikian, karena saya juga
belum mendalami Hadis-hadis itu. Tapi, untuk sementara, bila penjelasan
Al-Qurãn sudah begitu gamlang, kita pegang itu dululah.
Tapi, Hadis-hadis tentang lailatul-qadr itu kan beredar dalam masyarakat, karena memang selalu diulang-ulang oleh para mubaligh.
Bisa anda ajukan contoh?
Ini saya bawa koran Pikiran Rakyat tanggal 12 Oktober
2006, yang memuat tulisan Ir. H. Bambang Pranggono, M.B.A., seorang
mubalig yang merupakan salah seorang pendiri BKPRMI (Badan Komunikasi
Pemuda Remaja Masjid Indonesia). Judulnya Misteri Lailatul Qadar …
Nah, mereka selalu menggambarkan lailatul-qadr sebagai misteri!
Ya.
Coba teruskan baca tulisannya.
Pak Ustadz Bambang ini memulai tulisannya dengan mengutip surat Al-Qadr ayat 3 …
Itu juga menjadi ciri kebanyakan mbalig. Mereka suka
mengutip ayat secuil-secuil, sehingga pengertiannya menjadi lepas dari
konteksnya. Seperti sudah saya ungkapkan di atas, pengkajian pada surat
Al-Qadr secara utuh, apalagi setelah dihubungkan dengan surat Ad-Dukhan
ayat 1-6, lailatul-qadr itu sebenarnya bukan sebuah misteri.
Saya lanjutkan baca. “Syahdan para sahabat Nabi Muhammad
saw kagum mendengar kisah pemuda Bani Israil yang taat. Dia beribadah
di malam hari terus-menerus selama 80 tahun. Selanjutnya, turunlah surat
ini yang memberi peluang umat Islam memperoleh pahala 1.000 bulan
dengan ibadah cukup satu malam.”
Kebanyakan mubalig juga gemar mendongeng. Mereka
seperti tidak tahu bahwa agama kita sebenarnya tidak mengajarkan mitos,
dan Al-Qurãn itu bukan mitologi. Bukan sebuah buku dongeng.
Tapi, bukankah yang disebutkan beliau ini adalah asbabu-nuzul dari surat Al-Qadr?
Ya. Memang banyak atau kebanyakan ulama mengajarkan
bahwa asabu-nuzul merupakan penentu makna suatu surat, tepatnya suatu
ayat, karena tidak ada asbabu-nuzul yang mencakup satu surat secara
utuh. Tapi ada juga ulama yang justru mempertanyakan pemakaian
asbabu-nuzul sebagai penentu. Amin Al-Khûlî, misalnya, menegaskan bahwa
asbabu-nuzul hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang
tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Pernyataan ini diperkuat oleh
istrinya, Bintusy-Syathi’, bahwa asbabu-nuzul sering berisi
cerita-cerita bersifat waham (takhyul).
Termasuk cerita yang disebut Ustadz Bambang tadi?
Tampaknya, iya. Perhatikan saja bagaimana Allah
digambarkan seperti terpengaruh oleh kekaguman para sahabat Nabi
terhadap kisah Bani Israil, lalu menurunkan surat Al-Qadr, khususnya
ayat 3 itu, seolah-olah Allah tidak mempunyai konsep sendiri tentang
penurunan surat itu.
Tapi, tampaknya beliau ini ingin menekankan pada masalah
“pahala” beribadah pada saat
lailatul-qadr yang senilai dengan 80 tahun
itu!
He-he! Umat sudah ‘ditipu’ atau dibodohi oleh para
mubalig dengan cerita-cerita tentang pahala yang abstrak yang bertumpu
pada kepercayaan yang tidak boleh dipertanyakan (dogma), sehingga mereka
jadi terasing dari ‘pahala’ konkret berupa ilmu dan nilai fungsional
praktisnya, yang didapat dari pengkajian Al-Qurãn.
Saya lanjutkan baca lagi ya? “Malam ini dinamakan
Lailatul Qadar. Para ulama sepakat bahwa mulianya Lailatul Qadar karena
Alquran turun di malam itu.”
Itu sudah kita bahas panjang lebar kan?
Iya. Berikutnya, “Dalam kitab Mazahirul Haq tertulis
bahwa di malam itu malaikat diciptakan dan pohon-pohon surga ditanam.
Dalam kitab Ad-Durul Mantsur tertulis bahwa di malam itu Nabi Isa a.s.
diangkat ke langit.”
Cerita yang layak dipertanyakan kebenarannya! Tapi,
catat satu hal, tentang Nabi Isa. Bila yang dimaksud “diangkat” itu
adalah kiasan, maka semua nabi “diangkat” oleh Allah ke derajat yang
tinggi melalui wahyu yang mereka terima.
Bukankah ada ayat Al-Qurãn yang menceritakan bahwa Nabi Isa diangkat ke langit, untuk meloloskannya dari penyaliban?
Itu akan kita bahas nanti.
Saya baca lagi. “Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil
Quran menyatakan, malam Lailatul Qadar bermandikan cahaya Allah, cahaya
malaikat, dan cahaya roh sampai terbit cahaya fajar. …”
Bila “cahaya” di sini juga berarti kiasan, bahwa
yang dimaksud adalah wahyu (Al-Qurãn) sebagai penerang kehidupan budaya,
maka itu memang sesuai dengan konteks surat Al-Qadr.
Lagipula, bukankah Al-Qurãn itu sendiri disebut sebagai an-nûr (cahaya)?
Benar.
Saya baca lagi. “Rasulullah saw menyuruh kita
menghidupkan malam itu, “Barangsiapa bangun untuk ibadah di malam
Lailatul Qadar, dengan iman dan harapan, akan diampuni dosa-dosanya yang
lampau.” Bagai-mana komentar anda?
Bila kita semua membiasakan diri bangun di malam
hari untuk melakukan Qurãnisasi diri, melalui studi Al-Qurãn, yang
disusul dengan shalat tahajud dan witir, maka otomatis kita bisa
menghapus dosa-dosa (kesalahan-kesalahan) masa lalu, dan mencegah
dosa-dosa masa datang.
O, seperti yang anda tulis dalam kajian surat Al-Muzzammil itu ya?
Iya.
Saya lanjutkan lagi membaca tulisan ini ya?
Ya, ya! Silakan.
“Masalahnya adalah tanggal berapa Lailatul Qadar? Ada 50
pendapat yang berbeda-beda tentang saat terjadinya Lailatul Qadar. Imam
Syafii menyatakan tanggal 21 Ramadhan. Ibnu Abbas r.a.mengatakan
tanggal 23. Ubay bin Ka’aab r.a. tanggal 27. Ai-syah r.a. berkata bahwa
Nabi menyuruh mencarinya di malam-malam ganjil pada 10 malam terakhir
bulan Ramadhan. Yakni malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Itu kalau bulan
Ramadhan lamanya 30 hari. Kalau hanya 29 hari, menurut Ibnu Hazm, 10
hari terakhir dimulai tanggal 20, jadi Lailatul Qadar harus dicari sejak
malam ke-20, 22, 24, 26, dan 28. Artinya, bisa saja salah satu malam
dari tanggal 20 sampai akhir Ramadhan, baik ganjil maupun genap.
Baca Juga: Mencari Malam Kadar ?
Baca Juga: Mencari Malam Kadar ?
Kalau begitu, bukan tanggung-jawab saya untuk memastikan kebenaran Hadis-hadis itu. Itu tanggung-jawab mereka!
Wah, tampaknya anda menghindar nih!
Bukan, bukan menghindar. Saya kan membahas
lailatul-qadr dalam Al-Qurãn, bukan dalam Hadis. Merekalah yang membahas
– tepatnya mengajukan – Hadis. Jadi, anda harus minta
pertanggung-jawaban kepada mereka, bukan kepada saya!
Bagaimana jika kajian anda salah?
Saya memang punya kelemahan. Banyak kelemahan.
Justru karena itulah, saya menantang para pakar Islam untuk mematahkan
argumen saya secara ilmiah. Maksud saya ilmiah Qurãni gitu lho! Itu bisa
sekaligus juga mempertanggung-jawabkan konsep (ajaran) mereka sendiri
tentang lailatul-qadr itu kan?(Ahamd Haes )