Lailatu-Qadr(I), Titimangsa Fajar Peradaban
(بسم الله الرحمن الرحيم)
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3)
تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ
أَمْرٍ (4) سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
THE JAMBI TIMES - BEKASI - Pada hari Kamis, tanggal 26 Mei 2016, malam, sejak Sudara Desrizal
Misbah Sutan Sinaro mengundang saya untuk menjadi pembicara pada tanggal
26 Juni 2016 di gedung BPPT, dengan bahan tentang Lailatul-Qadr, saya
terus ‘kepikiran’, dan sulit tidur.
Kenapa?
Pertama, saya jadi memikirkan lagi surat Al-Qadr(u)…
Mengapa surat ini dinamai Al-Qadru, yang secara harfiah mempunyai banyak makna,[1] tapi secara umum, qal-qadru itu berarti kadar, yang dalam bahasa Indonesia berarti ukuran.
Jadi, bila orang Indonesia mengucapkan kata sekadar, misalnya, maka itu berarti seukuran atau sebatas.
Tapi dalam bahasa Indonesia, kadar juga bisa berarti kemampuan; sehingga bila orang Indonesia mengatakan “ala kadarnya”, maka itu berarti “sebatas kemampuan”.
Dan banyak lagi penggunaan kata kadar ini dalam bahasa Indonesia, yang sebenarnya secara makna mempunyai kesamaan dengan kata qadr(un)
dalam bahasa aslinya.
Dan ini, bagi saya, menjadi salah satu bukti
bahwa bahasa Indonesia memang amat sangat terpengaruh bahasa Arab dan
atau Islam.
Jadi, dalam satu hal, saya ingin katakan kepada anda bahwa ternyata kita tidak asing dengan kata kadar. Tapi, masalahnya kemudian, apakah kita juga tidak asing dengan surat Al-Qadr(u), yang di dalam Al-Qurãn menempati urutan ke-97?
Pertanyaan itu akan dengan mudah dijawab dengan, “Ya, kita tidak
asing dengan surat itu, karena sering dibaca dalam shalat setiap, dan
tahun kita selalu mendengar dan atau membaca pembahasan tentang
Lailatul-Qadr.
Tapi pertanyaan berikutnya, bila dengan surat itu kita “sudah tidak
asing”, apakah itu berarti kita sudah benar-benar memahaminya?
Terus-terang, bagi saya sendiri pertanyaan ini masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas.
Kedua, nah, bila demikian, mari kita berdoa bersama, agar –
mudah-mudahan – perrtemuan kita kali ini menjadi momentum awal untuk
mulai mengenali dengan cukup teliti surat Al-Qadr yang sudah populer
itu.
- Waktu penurunan Al-Qurãn
Berdasar keterangan dalam potongan surat Al-Baqarah ayat 185, jelaslah bahwa
Al-Qurãn diturunkan (pertama kali) pada bulan Ramadhan, sehingga bulan Ramadhan layak disebut sebagai bulan Al-Qurãn.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ…
Dalam potongan ayat ini bahkan dijelaskan pula 3 fungsi Al-Qurãn sebagai:
- هُدًى لِلنَّاسِ petunjuk bagi manusia
- وَبَيِّنَاتٍ مِنْ الْهُدَى penjelasan tentang petunjuk tersebut; yaitu penjelasan Al-Qurãn tentang Al-Qurãn itu sendiri; yang selanjutnya melahirkan ilmu tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn.[2]
- لْفُرْقَانِ Yaitu fungsi Al-Qurãn sebagai pemilah antara al-haqqu (benar) dan al-bãtahilu (pembatal kebenaran; perusak kebenaran).
Selanjutnya saya ingin memulai dialog kita dengan mengatakan bahwa
surat Al-Qadr ini, pertama, menegaskan tentang saat penurunan Al-Qurãn
pada bulan Ramadhan tersebut, yang di dalamnya tidak disebutkan tentang
tanggalnya. Dalam sebuah hadis bahkan dikatakan bahwa Rasulullah dibuat
lupa tentang tanggal malam kadar itu. Dalam ayat pertama surat Al-Qadr
hanya dikatakan:
Innã anzalnãhu fi lailatil-qadr. (إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ).
Di sini saya ingin mengajak anda untuk sedikit meninjau kalimat di atas secara bahasa. Kata innã (إِنَّا) ini adalah gabungan antara partikel penegas, inna (إنّ), dengan kata ganti nama nahnu (نحن), yang berarti kami, dan jelas kata kami ini mengacu kepada Allah. Timbul pertanyaan, mengapa Allah yang diajarkan kepada kita sebagai mahatunggal, kok di sini menggunakan kata ganti kami yang jelas jamak.
Jawabannya, menurut sebagian ulama, kata ganti kami
digunakan Allah dalam rangka “membesarkan diri” atau “mengagungkan
diriNya.” Tapi, jujur, jawaban ini bagi saya tidak memuaskan. Mengapa
Allah yang sudah besar alias agung, masih harus membesarkan diri melalui
penggunaan kata ganti tersebut. Apakah tidak ada jawaban lain?
Sampai saat ini saya masih lebih menerima sebagian orang yang mengatakan bahwa penggunaan kata ganti kami tersebut
adalah dalam rangka ‘pengakuan peran’ malaikat dan rasul sebagai
petugas Allah dalam penurunkan Al-Qurãn. Bukan berarti Allah tidak mampu
melakukannya sendirian, tapi jelas sekali bahwa dalam proses pengajaran
Al-Qurãn itu Allah menggunakan malaikat dan rasul.
Pasti saya akan dimarahi sebagian ulama, termasuk oleh Ahmad Deedat,
yang dalam salah satu ceramahnya beliau mengecam orang yang berpendapat
demikian. Tapi, apakah dengan dikecam kenyataannya jadi berubah?
Bukankah kenyataannya Al-Qurãn itu diturunkan Allah melalui malaikat
(Jibril) dan kita menerimanya melalui Nabi Muhammad?
Jadi, saya ulangi, dalam surat Al-Qadr ini, sejak awal, ada penegasan
tentang waktu penurunan Al-Qurãn. Kedua, ada pula isyarat bahwa Allah
melibatkan peran malaikat dan Nabi Muhammad dalam peroses penurunannya.
Bahkan dalam surat ini ada kata-kata yang berbunyi: Tanazzalul-malãikatu war-ruhu fiha. (ayat 4), yang diterjemahkan orang menjadi “pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril)…
Jelas ini menimbulkan pertanyaan lebih jauh. Misalnya, “Mengapa Allah
menurunkan para malaikat dalam momentum penurunkan Al-Qurãn itu? Dan
mengapa Jibril disebut Ruh? Apakah yang ditugasi menurunkan wahyu itu
bukan hanya Jibril?” Pertanyaan ini semakin menguat bila kita perhatikan
surat Al-Baqarah ayat 98 yang mengisyarkat adanya peran malaikat
Mika’il dalam penurunan wahyu.
مَنْ كَانَ عَدُوّاً لِلَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ
- Lailatul-qadr(i) sebagai momentum
Selanjutnya, ketiga, momentum (Jawa: titi mangsa) penurunan Al-Qurãn itu disebut sebagai lailatul-qadri (ليلة
القدر), yang gampangnya bisa kita terjemahkan dulu sebagai “malam
kadar”. (Mengingat orang Indonesia sudah akrab dengan kata kadar seperti tersebut di atas).
Jadi, lailatul-qadar itu nama waktu atau yang diberikan
Allah seiring penurunan Al-Qurãn. Tentu saja sebelumnya nama itu tidak
ada. Tegasnya, nama itu hanya diberikan untuk waktu (the very moment)
saat berlangsungnya penurunan Al-Qurãn saja. Dengan catatan bahwa yang
dimaksud bukanlah penurunan Al-Qurãn seluruhnya, tapi hanya untuk yang
pertama kali saja.
Kemudian, apa istimewanya momentum itu?
Momentum atau waktu tidak akan menjadi istimewa bila di dalamnya
tidak ada (kejadian atau apa pun) yang berniali istimewa. Satu penggalan
waktu menjadi istimewa bagi seseorang, misalnya, bila hari itu dia
menerima gelar kesarjanaan atau melakukan pernikahan, atau menyambut
kelahiran anak dan lain-lain.
Berkenaan dengan malam kadar, jelas, faktor yang membuatnya menjadi
istimewa adalah penurunan Al-Qurãn! Jadi, Al-Qurãnlah faktor
keistimewaan malam kadar itu.
- Lebih baik dari seribu bulan
Kemudian, potongan ayat (frasa) yang menyebutkan, secara
perbandingan, bahwa malam kadar itu “lebih baik dari seribu bulan, atau khairun min alfi syahrin (خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ) memunculkan pertanyaan kita berikutnya. Mengapa malam kadar itu lebih baik dari seribu bulan?
Mohon diperhatikan bahwa kata syahr(un) adalah nama waktu,
bukan sebutan untuk benda angkasa yang kita sebut sebagai bulan. Benda
angkasa bernama bulan dalam Al-Qurãn disebut sebagai qamar(un) (قمر) dan badr(un) (بدر).
Jadi, kembali pada sebutan malam kadar, yang mengacu pada penyebutan waktu, maka alfu syahrin
juga mengacu pada waktu, bukan benda. Jelasnya, waktu satu malam yang
disebut malam kadar itu, nilainya adalah lebih baik dari waktu seribu
bulan, yang bila dihitung bisa setara dengan waktu sekitar 83 tahun.
Mengapa waktu ‘semalam’ diperbandingkan dengan 83 tahun?
Ingat kembali, bahwa yang jadi pembahasan di sini bukan lama
waktunya, tapi apa yang ada dalam waktu tersebut. Jelas, dalam semalam
di malam kadar itu ada penurunan Al-Qurãn, sedangkan dalam waktu 83
tahun itu tak ada apa-apa yang bisa dikatakan istimewa. Dengan demikian,
kembali, faktor pembuat istimewanya adalah Al-Qurãn.
Jadi, ini bukan soal hitungan waktu 83 tahun!
Bila kita ingat Nabi Muhammad lahir pada tahun 571 Masehi… Ini
berarti bahwa jarak antara Nabi Muhammad dengan Nabi Isa adalah sekitar 6
abad. Masa inilah yang dalam sejarah Islam disebut sebagai masa fatrah,
yaitu masa kekosongan syari’ah atau masa ketiadaan wahyu. Inikah
gerangan yang disebut, secara kiasan, sebagai “seribu bulan”?
Saya sering katakan bahwa hari pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, itu
menjadi hari istimewa bagi kita, karena di situ ada proklamasi
kemerdekaan kita. Coba bandingkan dengan 350 tahun masa penjajahan
Belanda, yang di dalamnya tak ada proklamasi kemerdekaan, pasti jauh
berbeda. Proklamasi kemerdekaan kita adalah pembebasan kita dari
penjajahan. Kita menjadi bangsa yang tadinya terbelenggu menjadi bangsa
yang berdaulat.
Dengan demikian, kata atau istlah “seribu” (أَلْفٌ) juga ada
kemungkinan tidak menyatakan bilangan seribu, tapi hanya ungkapan untuk
menyebut jumlah yang sangat banyak. Bila kita percaya, misalnya, bahwa
Al-Qurãn senilai dengan Injil yang diterima Nabi Isa, maka jarak antara
masa Nabi Isa dengan Nabi Muhammad adalah sekitar 600 tahun, bukan
seribu bulan atau sekitar 83 tahun.
- Al-Qurãn sebagai ruh budaya
Ayat ke-4 surat ini mengabarkan tentang Turunnya para malaikat bersama Ar-Rûh.
Catatan kita di sini, pertama, malaikat dalam bahasa Indonesia adalah kata benda tunggal. Tapi dalam bahasa aslinya, malãikat adalah jamak dari malakun. Dengan demikian, kalimat tanazzalul-malãikatu war-Rûhu berarti para malaikat turun bersama Ar-Rûh(u)…
Pertanyaan kita, mengapa, pada malam penurunan Al-Qurãn itu, harus
turun para malaikat bersama Ar-Rûh yang ditafsirkan sebagai Jibril?
Apakah mereka (ikut) turun dalam rangka mengiringi Jibril, atau mereka
turun sebagai isyarat bahwa mereka nanti akan turun bergiliran bersama
Jibril dalam rangka penurunan penggalan-penggalan Al-Qurãn berikutnya?
Pertanyaan berikutnya, benarkan Ar-Rûh dalam ayat ini berarti sebutan atau julukan lain bagi Jibril?
Bagaimana bila istilah Ar-Rûh ini adalah sebutan lain untuk Al-Qurãn
seperti tercantum dalam surat As-Syura ayat 52 (وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ رُوحاً)? Melalui ayat ini, kita mendapat informasi bahwa
Al-Qurãn Al-Qurãn adalah semacam ruh. Bukan ruh dalam arti nyawa, tapi
ruh dalam arti ilmu yang tak ubahnya nyawa yang dapat menghidupkan
badan, maka begitu juga Al-Qurãn dapat menghidupkan budaya.
Dengan
demikian, Al-Qurãn bisa kita sebut sebagai “ruh budaya”. Saya kira, ini
lebih inspiratif dibandingkan menafsirkan Ar-Rûh sebagai Jibril.
Jadi, terjemahan untuk ayat tanazzalul-malãikatu war-Rûhu fiha adalah para malaikat turun pada malam itu membawa Al-Qurãn.
Logis atau tidak? Nyambung atau tidak dengan konteks penurunan Al-Qurãn?
Supaya lebih ‘logis’, coba perhatikan kata bi-idzni rabbihim min kulli amrin dalam ayat 4. Dalam bahasa kita sehari-hari kata izin atau ijin yang berasal dari idzn(un) berarti perkenan atau pembolehan atau bahasa Inggrisnya permission.
Pengertian itu tidak salah. Tapi bila kita menyebut kata-kata izin Allah, bagaimana
bentuk nyata dari izin tersbut? Bila polisi mengeluarkan sura izin
mengemudi, dengan apa Allah ‘mengizinkan’ (meridoi) hambaNya menjalani
kehidupan? Jawaban ilmiah untuk pertanyaan ini adalah: Allah
mengeluarkan ‘surat izin hidup’ bagi hambaNya adalah dengan menurunkan
Al-Qurãn! Ooo, jadi Al-Qurãn adalah semacam surat izin? Begitulah. Bila
bukan, silakan ajukan alternatif. Tapi jangan asal-asalan.
Memahami Al-Qurãn sebagai ‘surat izin kehidupan’, berarti semakin
jelas bahwa Al-Qurãn harus menjadi rujukan bagi setiap orang yang merasa
mu’min.
Jadi, terjemahan alternatif bagi ayat 4 surat Al-Qadr adalah: Pada malam kadar itu, para malaikat turun membawa Al-Qurãn alias Ar-Rûh yang mengandung izin Tuhan mereka untuk segala perkara.
- Titi mangsa fajar peradaban
Ayat terakhir, ke-5, surat ini berbunyi:
Salãmun hiya hatta mathla’il-fajri (سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ), yang oleh para penerjemah Departeman Agama dulu diterjemahkan menjadi: Selamatlah (malam itu) sampai terbit fajar.
Pertanyaan kita, bila malam itu selamat, berarti malam lain tidak
selamat. Dan bila selamatnya sampai terbit fajar, maka setelah hilang
fajar, hilang pula keselamatan.
Bagi saya, kata salãmun selain mengacu pada malam kadar, terutama tentulah mengacu pada penurunan Al-Qurãn itu sendiri, sehingga kata salãmun di situ (sampai kata-kata berikutnya dalam ayat itu) mengandung arti: demikianlah
pada malam kadar itu telah diturunkan konsep keselamatan (yakni
Al-Qurãn), sehingga, malam kadar itu, menjadi momentum (titi mangsa)
terbitnya ‘fajar’ peradaban.
Harap diperhatikan bahwa kata mathla(un) dalam ayat ini secara ilmu sharaf (morfologi) adalah isim zamãn sekaligus isim makãn (adverb of time and place).
Harfiah, mathla’ berarti waktu atau tempat terbit. Tapi bila diingat bahwa surat ini bicara tentang waktu (malam kadar) maka kata mathla’ tepatnya dipahami sebagai isim zaman (adverb of time), sehingga pengertian mathla’il-fajri yang
kontekstual adalah momentum (saat) terbitnya fajar. Dan fajarnya bukan
fajar matahari, tapi fajar peradaban, yang dalam sejarah dikenal sebagai
“peradaban Islam”.
- Simpulan
- Malam kadar () adalah sebutan untuk malam penurunan Al-Qurãn pertama kali, dan tidak berulang.
- Malam kadar lebih baik dari seribu bulan, karena pada malam itu turun konsep kehidupan (Al-Qurãn).
- Ar-Rûh adalah sebutan lain untuk Al-Qurãn, yaitu ruh budaya.
- Al-Qurãn, dengan kata lain, adalah izin Allah bagi para hambaNya untuk segala perkara (dalam arti di dalamnya tercantum perintah dan larangan).
- Malam kadar dengan kata lain berarti ‘malam keselematan’, karena pada malam itu diturunkan konsep keselamatan (Al-Qurãn) bagi siapa pun yang mau hidup dengannya.
- Malam kadar menjadi momentum terbitnya (bermulanya) fajar peradaban (peradaban Islam). Dengan kata lain, Al-Qurãn adalah sebuah konsep untuk membangun peradaban.
- Mencari Lailatul kadar bukanlah mencari sesuatu yang misterius, tapi mencari nilai yang nyata dari Al-Qurãn, dan kita berusaha meresapkannya dalam kesadaran.
Tinjauan bahasa
إِنَّا adalah gabungan kata penegas إِنَّ dan kata ganti nama nahu (نحن) yang berarti kami, yang mengacu pada Allah.
أَنزَلْنَاهُ adalah gabungan kata kerja lampau (فِعْلُ مَاضٍ) dengan
dhamîr nasab, yaitu kata ganti yang berfungsi sebagi objek. Kata
kerjannya adlah anzalnã (أَنزَلْنَا), dan objeknya adalah hu, yang mengacu kepada Al-Qurãn.
فِي adalah harfu-jarr (kata depan) yang membuat kata di depannya, lailatun, menjadi berharakat akhir kasrah.
لَيْلَةِ aslinya adalah lailatun, tapi karena menjadi mudhãf maka tanwin- nya dihilangkan, sehingga berubah menjadi lailatu. Kemudian, karena pengaruh fi, maka berubah lagi menjadi lailati.
الْقَدْرِ aslinya al-qadru (الْقَدْرُ), tapi karena berposisi sebagai mudhãf ilaihi (), maka berubah menjadi al-qadri.
لَيْلَةِ الْقَدْرِ adlah mudhãf dan mudhãf ilaihi, yang setara dengan kata majemuk.
وَ adalah partikel yang mempunyai banyak fungsi dan arti, tergantung konteksnya. Para penerjemah Indonesia biasa mengartikan dan. Dalam konteks surat ini bisa diartikan dan, bisa juga berarti selanjutnya, dan sebagainya.
مَا kata tanya, apakah.
أَدْرَاكَ kata kerja lampau dan kata ganti orang kedua, kamu.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ kata majemuk, malam kadar.
مِنْ خَيْر isim tafdhil, lebih baik dari…
أَلْفِ شَهْرٍ kata majemuk, (waktu) seribu bulan. (Mungkin juga uangkapan untuk menyatakan waktu yang sangat lama).
تَنَزَّلُ aslinya تَتَنَزَّلُ , dengan dhamir (kata ganti) hiya atau anta. Tapi dengan adanya kata الْمَلائِكَةُ jelaslah bahwa dhamirnya adalah hiya (), yaitu kata ganti uuntuk kata benda wanita, yang cocok dengan الْمَلائِكَةُ yang juga kata benda wanita.
الْمَلائِكَةُ jamak dari malakun ().
الرُّوحُ ruh dalam arti nyawa atau ilmu (ruh penggerak budaya).
فِيهَا di dalamnya, maksudnya di dalam malam kadar itu.
بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ dengan membawa izin Allah untuk
segala urusan. Izin Allah yang dimaksud k onkretnya adalah Al-Qurãn.
سَلامٌ هِيَ secara harfiah berarti “selamatlah dia”. Dia yang
dimaksud adalah malam kadar. Jadi, secara harfiah frase ini berarti
“Selamatlah malam kadar itu”. Tapi terjemahan ini tidak benar. Karena
yang selamat adalah manusia dengan turunnya Al-Qurãn. Jadi, terjemahan
yang sesuai konteks adalah:
Dengan turunnya Al-Qurãn pada malam kadar
itu, maka berarti telah turun konsep keselamatan (dari Allah).
حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ sehingga, dengan turunnya konsep
keselamatan itu (Al-Qurãn), maka malam kadar itu menjadi titi mangsa
(momentum) terbitnya fajar. Fajar yang dimaksud adalah fajar peradaban,
bukan fajar matahari. Jelasnya, malam kadar menjadi momentum terbitnya
‘fajar’ peradaban, karena turunnya Al-Qurãn adalah ibarat fajar bagi
berkembangnya peradaban yang kita kenal sebagai peradaban Islam.
Lampiran: malam kadar dalam hadis
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Berkata Rasulullah saw,”Siapa yang berdiri (bangun/shalat) pada malam
kadar secara iman dan perhitungan, diampuni baginya dosanya terdahulu.
(HR Bukhari, I/61, hadits no. 34).
Dalam hadis ini ada tiga kata yang saya garis-bawahi, yaitu yaqum, îmãnan, dan ihtisãban.
Harfiah, yaumu(u) bisa berarti berdiri atau tegak atau bangun. Para
penafsir menambahkan bahwa yang dimaksud adalah berdiri atau bangun
untuk melakukan shalat. Dan shalatnya bukan sembarang shalat tapi shalat
dengan sikap iman dan perhitungan (!). Bila dilakukan shalat demikian,
lalu bertemu (bertepatan) dengan malam kadar, maka akan diampuni dosa
masa lalu.
Tapi bagaimana bila kata yaqum diartikan menghidupkan, dalam
arti menghidupkan keasadaran tentang malam kadar, dengan sikap iman dan
‘perhitungan’ (matematis; menggunakan rumus matematika), maka itu
berarti bahwa yang bersangkutan telah diperbaiki kesalahan masa lalunya.
Diperbaiki dalam arti diperbaiki oleh kesadarannya tentangt fungsi
Al-Quran yang diturunkan pada malam kadar, bukan oleh bertepatannya
shalat ritual dengan datangnya (lagi) malam kadar yang misterius.
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ
لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Nabi saw, berkata, “Siapa yang menghidupkan (kesadrannya
tentang) malam kadar dengan sikap iman dan perhitungan, maka telah
diperbaiki (oleh kesadarannya) kesalahan hidupnya dahulu. Begitu pula
siapa yang bershaum Ramadhan dengan sikap iman dan perhitungan,
diperbaiki kesalahan hidupnya di masa lalu. (HR Bukhari, VI/468, hadits
no. 1768
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي
الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ
الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Rasulullah saw ‘mencari’ di akhir-akhir Ramadhan. Katanya, “Carilah
malam kadar pada puluhan akhir Rmadhan.” (HR Bukhari, VII/147, hadits
no. 1880).
Apakah yang dimaksud di sini ‘mencari’ sesuatu yang misterius?
Tidakkah yang dimaksud mencari ini adalah mencar makna/nilai shaum itu
sendiri? Bila demikian, bagaimana mencarinya? Tidak lain harus dengan
iman dan perhitungan (matematis). Yaitu dengan memstikan malam kadar
sebagai momentum penurunan Al-Qurãn, lalu ,menjadikannya (Al-Qurãn)
sebagai ‘alat berhitung’. Dengan demikian, kita akan tahu tentang
kesalahan-keasalan langkah hidup kita di masa lalu, sehingga kita tak
akan pernah mengulanginya.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
مِنْ رَمَضَانَ
… Bahwa Rasulullah saw berkata, “Carilah oleh kalian malam kadar pada
tanggal ganjil dari puluhan akhir Ramadhan. (Dari HR Bukhari, VII/145,
hadits no. 1878).
Kata perintah yang berbunyi: ”carilah oleh kalian (تَحَرَّوْا),
apakah berarti cari sesuatu yang misterius? Tidakkah itu berarti cari
makna malam kadar secara filosofis (ilmiah)?
أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَأَرَانِي صُبْحَهَا
أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ قَالَ فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلَاثٍ
وَعِشْرِينَ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَانْصَرَفَ وَإِنَّ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّينِ عَلَى
جَبْهَتِهِ وَأَنْفِه . قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ
يَقُولُ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ
(Menurut Abdullah bin Unais): Aku (Rasulullah) pernah melihat malam
kadar, kemudian aku dibuat lupa (waktunya?), lalu diperlihatkan kepadaku
subuhnya aku bersujud di air dan tanah (tanah basah?). Kata Abdulah,
“Maka turun hujan pada kami (pada) malam 23. Maka Rasulullah shalat
bersama kami. Kemudian beliau pulang, dan sungguh (ada) bekas air dan
tanah pada dahi dan hidung beliau.” Kata Abdullah, “Dua puluh tiga.”
(maksudnya itu terjadi pada tanggal 23). (HR Muslim, VI/80, no. 1997)
[1]Al-qadru adalah bentuk definitif dari qadrun, yang antara lain berarti kadar, cakupan, kuantitas, jumlah, skala, tingkat, ukuran, nomor, dsb. Bisa juga berarti ketetaptan, ketentuan, kepastian, nasib, dan sebagainya.
[2]
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Quran harus ditafsirkan oleh Al-Quran
sendiri; sehingga penafsiran dengan metode lain layak dipertanyakan.(a.h)