Keistimewaan Shaum Ramadhan
Sudah begitu banyak yang membicarakan.
Masih adakah yang belum terungkapkan?
Sudah aneka macam sudut pandang diterapkan.
Masih adakah satu cara pandang unik yang bisa diajukan?
Menyadari kedangkalan dan kekurangan ilmu, saya ragu. Tapi,
kegelisahan ini memaksa saya melakukan penelusuran, sekuat daya.
***
THE JAMBI TIMES - Bila dilihat dari ‘sistematika’ Hadis Jibril, yang membagi Dînul-Islãm ke
dalam rangkaian Al-Islãm(u) – Al-Ĩmãn(u) – Al-Ihsan(u) – As-Sa’ah –
dan Al-Ammarãtus-Sã’at(i), maka jelaslah bahwa ash-shaum
masuk ke dalam ‘wilayah operasi’ Al-Islãm. Atau, dalam sudut pandang
para ahli fiqh, shaum masuk ke dalam cakupan Rukun Islam (RI), yang
terdiri dari 5 asas itu (syahadat; shalat; zakat; shaum Ramadhan; haji).
Karena Islam adalah sebuah dîn(un), yang antara lain berarti manajemen
atau organisasi (lihat misalnya kamus Al-Munjid dan Hans Wehr),
maka saya memandang syahadat (RI-1) sebagai sebuah ‘ritual’ perekrutan
seseorang untuk meresmikannya menjadi muslim.
Bisa jadi, peresmian itu, dalam bahasa sekarang, hanya membuat orang yang
bersangkutan menjadi Muslim KTP. Dan itu, sebenarnya tidak apa-apa. Tapi dengan
syarat, begitu terdaftar sebagai muslim, orang yang bersangkutan lantas
bersedia mematuhi perintah Allah, yaitu melakukan amalan-amalan fisik, dengan
cara mematuhi suruhan dan panduan Rasulullah. Hal itu ditegaskan Allah,
misalnya dalam surat Al-Hujurat ayat 14.
Jelas, dalam status yang baru Muslim KTP itu, yang namanya iman belumlah
‘masuk’ ke dalam jiwa (pemahaman dan penghayatan) orang yang bersangkutan.
Tapi, selagi ia – setelah masuk sebagai anggota Islam sebagai organisasi –
mematuhi segala perintah Rasulullah sesuai kemampuannya, maka segala amalnya
tidaklah dinilai lebih rendah dari yang sudah lebih dulu terdaftar sebagai
Mu’min (bukan hanya Muslim!). (Al-Hujurat ayat 14).
Selanjutnya, untuk didaftar (oleh Allah) sebagai Mu’min, maka ia harus
menempuh proses pembelajaran, sehingga mencapai tingkat lenyapnya keraguan atas
kebenaran ajaran Allah, yang dibuktikannya dengan kesiapannya untuk berjuang di
jalan Allah, walau harus mengorbankan harta dan jiwa. Orang seperti itulah yang
oleh Allah dinyatakan sebagai Mu’min sejati. (Al-Hujurat ayat 15).
Dari segi ritual, proses pembelajaran si Musyãhid (orang yang bersyahadat),
berujung pada kemampuan untuk melakukan shalat ritual (RI-2). Secara hakiki,
proses tersebut, berujung pada terbentuknya pandangan hidup yang ilmiah Qurãni,
sehingga hal itu menggiringnya pada sikap menerima Al-Qurãn tanpa syarat, dan
bahkan menjadikannya sebagai satu-satunya tumpuan harapan kehidupan. Itulah
arti shalat yang sebenarnya, yang ditegaskan Rasulullah sebagai setara dengan
doa (du’ã) – Ash-Shalatu hiyad-du’ã’ – alias pengharapan hidup.
Tegasnya, yang disebut Mu’min adalah dia yang, sejak bersyahadat, lantas
menempuh proses pembelajaran dan kemudian melakukan shalat ritual sebagai teknik
pembatinan (internalisasi) Al-Qurãn, dan selanjutnya terus menerus mengobarkan
harapan untuk hidup dengan ajaran Allah.
Dengan harapan yang terus dikobarkan (antara lain dengan kegiatan studi
Al-Qurãn yang tiada henti), sehingga harapan itu akhirnya menjadi obsesi, maka
si Mu’min tidak akan ragu untuk memungsikan hartanya sebagai ‘tumbal’ bagi
tegaknya ajaran Allah. Ia tak bakal sungkan untuk ‘menzakatkan’ hartanya (RI-3)
demi kelancaran da’wah, sebagaimana telah dilakukan oleh figur-figur istimewa seperti
Khadijah, Abu Bakar, Utsman, Arqam bin Arqam, dan lain-lain.
Bahkan, tidak cukup dengan hanya mengorbankan harta, sang Mu’min sejati juga
siap mengorbankan dirinya, dalam arti seluas-luasnya.
Di situlah, dalam pengorbanan diri seluas-luasnya, saya melihat sisi
istimewa dari shaum Ramadhan!
Secara garis besar, diri kita ini terbagi menjadi dua sisi. Yaitu sisi
badani (fisik), dan sisi ruhani (jiwa; mental). Sisi badani, seperti ditegaskan
Rasulullah dalam sebuah hadis, mempunyai hak-haknya yang harus dipenuhi.
Demikian juga sisi ruhani.
Sisi badani membutuhkan makanan, minuman, pakaian, rumah, hubungan seksual,
dan lain-lain. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut,
ilmu jiwa (psikologi) mengatakan bahwa itu berpengaruh pada sisi jiwa yang
bernama emosi (baca: perasaan sebagai kebalikan dari pikiran).
Masih dalam tinjauan psikologi, ada teori yang mengatakan bahwa manusia, secara
fisik, adalah makhluk kimiawi yang digerakkan oleh bio-listrik. Tapi, secara
ruhani, ia digerakkan oleh emosi (perasaan). Mungkin karena itulah, dalam
bukunya – Jews, God, and History – Max I. Dimont mengatakan (mewakili
pandangan Yahudi) bahwa kebanyakan manusia selalu mempercayai konsep-konsep
yang tidak ilmiah (unscientific concepts). Tidak peduli konsep-konsep
tak ilmiah itu benar atau tidak, dengan itulah manusia membentuk nasib mereka,
tegas Dimont.
Bahasa Al-Qurãnnya, manusia cenderung bersikap: … bi-ghairi ilmin
wa lã hudan wa lã kitãbin munîr(in). … Bertindak tanpa ilmu, alias tanpa
petunjuk, alias tanpa kitab (rujukan) penerang. (Surat Al-Hajj ayat 8, Luqman
ayat 20). Contoh sederhana, dari kehidupan sehari-hari, sikap demikian itu
misalnya dalam hal makan. Banyak orang, yang ketika berhadapan dengan makanan
lezat, lantas kehilangan akal sehat dan mengabaikan ilmu, karena tunduk pada
sang perasaan, yang dalam bahasa Inggris disebut appetite (nafsu
makan). Tanpa peduli bahwa tuhan appetite bisa membuatnya kelebihan
berat badan (obesitas) dan atau menjadi manusia yang anti-sosial (tak peduli
kesusahan orang lain).
Shaum Ramadhan, tidak lain, adalah sebuah teknik (cara khas) untuk membuat
sang emosi terkendali oleh Kitab (ilmu) Allah, mulai dari cara makan, minum,
dan seterusnya.
Harfiah, shaum sama dengan imsãk(un), yaitu menahan.
Kebalikan dari imsãk adalah irsãl(un), yaitu melepas
atau mengumbar. Menahan diri (perasan) adalah sesuatu yang sangat
sulit, terutama perasaan lapar. Karena itulah banyak orang melakukan tindak
kejahatan berdasar alasan lapar. Dan, dalam ilmu ushul-fiqh (kalau tak salah)
ada fasal yang menyebutkan bahwa barang haram pun (misalnya daging babi) bisa
menjadi halal bagi orang yang kelaparan (yang tidak menemukan makanan lain).
Tapi, dalam shaum, justru lapar itulah yang harus ditaklukkan!
Dan itu (lapar) bukanlah satu-satunya yang harus ditahan. Masih ada haus dan
tuntutan badani lain yang juga harus ditaklukkan. Dan masih banyak pula
perasaan-perasaan (emosi) lain yang berkaitan dengan pergaulan antar
sesama, yang lebih berat lagi untuk dikalahkan. Bila kita cermati, emosilah – bukan
etika! – yang menjadi ujung tombak pergaulan. Emosilah yang membuat kita
tersenyum atau cemberut ketika berhadapan atau berpapasan dengan seseorang.
Dalam keseharian, di luar Ramadhan, Rasulullah membujuk kita untuk selalu
tersenyum, dengan menyebut senyum sebagai bernilai shadaqah (sedekah)
– At-tabassum(u) shadaqatun. Dan senyum, tentu saja, tidak cukup bila
tidak disusul dengan tegur sapa yang manis. Tapi, senyum dan tegur sapa itu,
sering kali dilanjutkan dengan gosip alias pergunjingan yang tak bermutu. Bila
itu dilakukan pada bulan Ramadhan, pada saat yang bersangkutan sedang bershaum,
maka Allah dengan tegas mengatakan bahwa Ia tidak butuh dengan ritualnya
menahan lapar dan dahaga! (hadis).
Shaum, dengan makna dasar menahan, pada hakikatnya adalah ‘bahasa’ ritual (=
lambang) yang mencakup segala segi dan bentuk kesabaran.
Dan kesabaran dalam konteks iman, adalah kesanggupan mental dan fisik untuk
membangun (secara tekun dan cermat, dari titik awal) dan mempertahankan ajaran
Allah (yang sudah terwujud), sehingga tidak mengalami kerusakan atau
kerontokan.(ah)