Islam Adalah (Sebuah) Bangunan
PEMERINTAHAN
RASULULLAH 3
Sebuah hadis
Bukhari mengatakan:
Kata Ibnu
‘Umar, Rasulullah saw pernah mengatakan, “Islam dibangun berdasar lima (asas,
yaitu): (1) syahadat berupa pernyataan bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah
dan Muhammad adalah rasul Allah, (2) penegakan shalat, (3) pembayaran zakat,
(4) haji, dan (5) shaum Ramadhan.”
Hadis ini
agak berbeda karena menempatkan (ibadah) haji pada urutan ke-4. Berdasar hadis
ini, “Rukun Islam” disempurnakan oleh shaum Ramadhan, bukan haji.
Namun,
bagaimana pun, hadis ini adalah sama-sama potongan dari Hadis Jibril,
yang agaknya diucapkan Rasulullah pada kesempatan lain.
Kata yang harus diberi tanda pada teks hadis, buniya, adalah kata kerja pasif. Bentuk aktifnya adalah banã / بنى, yang berarti membangun, membina, membentuk dsb. Kata kerja ini mempunyai beberapa bentuk masdar, antara lain bun-yãn/بنيان dan binã’an/بناء. Makna harfiah dalam bahasa Indonesia adalah bangunan, bentuk, dsb. Kalimat bunniyal-islâmu…menegaskan bahwa Islam adalah sebuah bangunan.
Ada yang mengatakan bahwa kata bun-yãn atau binã’an mengacu pada bentuk atau bangunan fisik (material). Tapi melalui hadis tersebut kita mendapat penegasan bahwa kata-kata tersebut bisa juga digunakan untuk menyebut bangunan yang bukan fisik. Al-Islam, jelas bukan sebuah bangunan fisik.
Al-Qurãn sendiri memuat kata bun-yãn, misalnya, dalam susunan demikian:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا
كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
Allah sangat
menyukai orang-orang yang berjuang untuk menegakkan ajaranNya dalam suatu
barisan, (sehingga) mereka menjelma tak ubahnya sebuah bangunan yang tersusun
rapi. (Ash-Shaff: 4).
Bila ayat
ini dipahami secara sempit, dalam konteks militer, kata bun-yãn(un) di situ
berarti formasi, yaitu bentuk tertentu dari barisan tentara ketika berhadapan
dengan musuh. Formasi tentara (khususnya angkatan darat) itu akan berubah-ubah
sesuai dengan kebutuhan taktis (siasat) di lapangan. Ini masih mengacu pada
bangunan fisik. Tapi, secara luas, ‘perang’ (perjuangan) untuk menegakkan
ajaran Allah adalah perang permanen, perang yang kekal, yang medannya mencakup
medan internal dan eksternal. Dengan demikian, kata bun-yãn pada ayat di atas
bisa dimaknai sebagai bangunan yang abstrak, tepatnya organisasi atau jama’ah;
khususnya jama’ah mu’min, yang juga digambarkan oleh Rasulullah sebagai sebuah
bun-yãn:
مثل المؤمن للمؤمن كالبنيان يشدّ بعضه بعضا
Gambaran
(sikap) mu’min terhadap mu’min (yang lain) adalah seperti sebuah bangunan;
(yaitu) satu bagian menguatkan bagian yang lain (= satu sama lain saling
menguatkan).
Lebih
lanjut, Al-Qurãn memuat kata yang menggambarkan bangunan dalam bentuk khusus,
yaitu بيت /bait (rumah), yang terbagi menjadi dua ‘jenis’, yaitu baitullah/ بيت
الله (‘rumah’ Allah) dan baitul-‘ankabût/ بيت العنكتوت (sarang laba-laba).
Tentang baitullah yang terletak di Makkah, diberitakan Allah demikian:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى
لِلْعَالَمِينَ
Sebenarnya
rumah pertama yang dibangun (wudhi’a) bagi manusia adalah rumah yang terdapat
di Bakkah (Makkah), yang keadaannya mubarak serta menjadi petunjuk bagi
manusia. (Ali ‘Imran: 96)
Ditinjau
dari satu sisi, ayat ini seperti hanya memberitakan tentang rumah (fisik) yang
pertama kali dibangun di bumi, yang bersifat mubãrakan (bertambah; menjadi
banyak; berkembang), dan hudan (menjadi petunjuk; sesuatu yang mengilhami).
Maksudnya, secara denotatif (harfiah), ayat ini adalah informasi bahwa Ka’bah
adalah rumah (bangunan) pertama di dunia, yang dibangun (rasul Allah, atas
bimbinganNya) secara sengaja sebagai sebuah prototype (contoh pertama), supaya
bisa diperbanyak dan dikembangkan oleh manusia. Dengan demikian, ayat ini juga
seperti hendak mengingatkan bahwa untuk urusan bikin rumah saja pun – ternyata!
– manusia itu harus diajari oleh Allah.
Kemudian, khususnya pada masa Ibrahim, ‘rumah pertama’ itu ternyata berfungsi sebagai matsãbatan linnãs/مَثَابَةً لِلنَّاسِ seperti terkesan melalui paparan ayat ini:
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ
مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Pada masa
(Ibrahim) Kami jadikan rumah itu (Ka’bah) sebagai matsãbah bagi manusia, yakni
untuk mencari kedamaian. Maka selanjutnya, jadikanlah maqãm Ibrahim itu sebagai
mushalla, sebab telah Kami tetapkan perjanjian pada Ibrahim dan Ismail (yang
intinya adalah perintah), “Peliharalah oleh kalian berdua kebersihan rumahku
ini, agar selalu bisa dimanfaatkan untuk orang-orang berthawaf, i’tikaf, ruku’
dan sujud. (Al-Baqarah: 125).
Dalam
berbagai buku digambarkan bahwa Ka’bah secara perlahan tapi pasti menjelma
menjadi pusat negara kota (city state) Makkah, dan maqãm Ibrahim menjadi
mushalla (tempat shalat), yang selanjutnya – lama setelah Ibrahim dan Isma’il
tiada – berubah menjadi tempat pemujaan berhala.
Bila kita cermati kata bait, matsãbah, maqãm, dan mushalla dalam konteks Ibrahim dan Isma’il sebagai para rasul Allah, akan kita dapati bahwa keempat kata tersebut tidak melulu mengacu pada benda. Bait, misalnya, selain berarti rumah, bisa juga berarti ‘rumah tangga’, yang dalam konteks seorang rasul dan risalahnya berarti jama’ah. Matsãbah bisa jadi merupakan tempat orang mencari tsawãb, yakni suatu anugerah (pemberian) yang diberikan Allah kepada manusia melalui rasulnya (wahyu). Demikian juga halnya istilah maqãm, yang dalam konteks kerasulan Ibrahim terlalu dangkal untuk diartikan sebagai tanah atau alas tempat Ibrahim berdiri (ketiga berkhutbah) atau tinggal. Dalam konteks kerasulan Ibrahim, maqãm Ibrahim bisa berarti ‘pendirian’, alias sikap Ibrahim, yang layak diteladani oleh setiap orang yang hendak menjadi hamba Allah. Yaitu sikap hanifan musliman (Ali ‘Imran 67). Demikian juga dengan istilah mushalla, yang bisa berarti tempat shalat dalam bentuk bangunan fisik, bisa juga berarti tumpuan harapan.
Dengan demikian, ayat di atas bisa mempunyai pengertian: Pada masa Ibrahim, ‘rumah itu’ (Ka’bah) menjadi sarana manusia berkumpul menuntut ilmu Allah dari Ibrahim, yang selanjutnya mereka dibina oleh Ibrahim menjadi suatu jama’ah, untuk membangun suatu kehidupan yang aman. Karena itulah, kepada para pengikut nabi-nabi berikutnya, termasuk Muhammad, Allah menganjurkan agar meteka “mengulang sejarah” Ibrahim itu, yaitu memelihara ‘rumah itu’ sebagai sarana ibadah ritual, dan terutama sebagai wadah untuk membangun jama’ah yang bersifat internasional (melalui ibadah haji).
Surat Al-‘Ankabut ayat 41 secara terang-terangan menghubungkan konsep rumah dengan pemilihan pemimpin atau pelindung (wali, jamaknya auliya):
مثل الّذين اتخذوا من دون الله أولياء كمثل العكبوت إتخذت بيتا
وإنّ أوهن البيوت لبيت العنكبوت لو كانوا يعلمون
Gambaran
orang-orang yang memilih berbagai pelindung selain Allah (dengan ajaranNya)
adalah seperti laba-laba membuat rumah (sarang). Kalau saja mereka berpikir
ilmiah, pastilah mereka tahu bahwa serapuh-rapuhnya rumah adalah rumah
laba-laba.
Ketika
berbicara tentang kepemimpinan, Rasullah mengambil rumahtangga sebagai
perumpamaan:
عن ابن عمر عن النبي ص م قال
ألا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ و مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَهِيَ وَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ ألا فكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
ألا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ و مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَهِيَ وَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ ألا فكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
Ibnu Umar
mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Camkanlah, bahwa kalian semua
adalah (ibarat) penggembala yang pasti ditanya tentang gembalaannya. Maka
begitulah halnya amir yang memimpin orang banyak; (dia adalah) penggembala yang
pasti ditanya tentang gembalaannya.
Begitu pula seorang suami; (dia adalah)
penggembala bagi para anggota keluarganya, yang pasti ditanya tentang mereka.
Demikian juga seorang istri; (dia adalah) penggembala atas rumah suaminya, yang
pasti ditanya tentang gembalaannya. Sama juga halnya seorang abdi (pelayan
dsb); (dia adalah) penggembala atas harta tuannya, yang pasti ditanya tentang
itu. (Sekali lagi) camkanlah, bahwa kalian semua adalah penggembala yang pasti
ditanya tentang gembalaannya. [Sunan At-Tirmidzi].(a.h)