Ngobrol Santai Tentang Islam Sebagai Organisasi
THE JAMBI TIMES - Tulisan ini adalah hasil ketikan dari bahan pengajian
yang saya sampaikan pada bulan Mei 2006 (7 tahun lalu) di hadapan teman-teman.
Semoga bermanfaat.
Tentang jama’ah
Pada pertemuan malam Jum’at kemarin di rumah Bang
Sa’alih/Ika, kita telah membahas tentang struktur jama’ah. Jadi kesimpulannya
adalah bahwa tujuan kita ngaji itu untuk membuat jama’ah. Saya ulangi
pernyataan teman kita di Malang, Pak Masykur, orang Kendal, bahwa selama ini
kegiatan kita hanyalah ngaji x ngaji + ngaji : ngaji = ngaji. Dengan kata
lain, kegiatan kita hanyalah ngoja-ngaji melulu, yang hasilnya hanyalan ngaji
dan ngaji. Maka itu adalah sebuah kegagalan. Karena kita cuma berputar-putar di
sekitar ngaji. Kalau kata almarhum Bang Dulloh dulu seperti naik komidi putar.
Mutarnya kencang, tapi cuma di situ-situ juga. Hasilnya cuma puyeng. Akhirnya
nanti umur kita habis cuma karena puyeng.
Kita mulai hari ini, mulai detik ini, kita coba untuk
berpikir maju. Kalau di masa lalu, misalnya, usaha kita untuk membuat jama’ah
itu gagal, karena memang tidak ada juga kesungguhan untuk itu, mudah-mudahan
hari ini kita bisa belajar berjama’ah. Ya caranya antara lain seperti
tadi itu. Beli buku bareng-bareng, yang ga punya kita bantu, yang punya
membantu. Itu cuma contoh kecil aja ya?
Struktur jama’ah
Jadi, pertama-tama kita memang harus memahami dulu
konsep jama’ah itu apa. Kemarin sudah kita bahas serba sedikit bahwa struktur
jama’ah itu, kalau mengacu pada hadis kun ãliman aw mutta’aliman aw
mustami’an aw muhibban wa lã takun khãmisan, maka kita bisa menjadi (1)
ahli ilmu, (2) pelajar, (3) penyimak, atau (4) simpatisan. Kalau ini kita
gambarkan sebagai lingkaran-lingkaran, maka jangan sampai kita keluar dari
lingkaran-lingkaran itu, sehingga menjadi kelompok kelima, yaitu menjadi
orang-orang yang tidak peduli, atau bahkan menjadi perusak. Kalau sebatas
menjadi supporter , simpatisan, itu masih bisa diterima, masib bisa
bermanfaat. Tapi seperti saya katakan pengelompokan dalam lingkaran-lingkaran
itu kan sifatnya dinamis. Setiap orang dalam setiap lingkaran bisa meningkatkan
diri, bisa masuk ke lingkaran sebelah dalam dan terus ke dalam, sehingga masuk
ke lingkaran tengah (kelompok ahli ilmu).
Itu bila dilihat dari segi proses penguasaan ilmu.
Tapi kalau dilihat dari segi penyebaran ilmu, dari lingkaran dalam terus
menyebar ke lingkaran-lingkaran luar. Dengan kata lain, penguasa ilmu mencari
orang-orang di lingkaran-lingkaran luar, merekrut orang-orang yang di luar.
Jadi, dari segi proses belajar, kita harus meningkat;
dari tidak tahu menjadi punya kesukaan, kesenangan, simpati, terus sampai
menjadi ãlim. Kalau sudah ãlim, ya seperti kata Pak Chudlori, kalau sudah ‘makan’
ya ‘berak’. Dengan kata lain, masuk (ke lingkaran jama’ah) cari ilmu, keluar
sebar ilmu.
Kamudian, kalau kita merujuk hadis lain, yang
menyatakan bahwa setiap kita adalah pemimpin, dan pemimpin itu ibarat
penggembala (rã’in). Atau dengan kata lain, setiap pemimpin itu mas’ûlun.
Orang yang menempati posisi yang membuat dirinya layak dituntut. Yaitu dia
bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Itu pembahasan kita seminggu yang lalu.
Jama’ahku jannahku
Sekarang kita masih akan membahas tentang jama’ah,
yang dalam istilah sekarang disebut organisasi, melalui sebuah hadis yang
dikenal sebagai Hadis Jibril. Sebagaimana sebelumnya telah diterangkan,
Hadis ini berbentuk obrolan antara Nabi Muhammad dengan Jibril, yang isinya
kemudian dirumuskan ulama menjadi Rukun Islam, Rukun Iman dan seterusnya.
Yang menarik bagi saya, dalam hadis ini, setelah terjadi obrolan cukup panjang,
Rasulullah kemudian menyimpulkan bahwa poin-poin yang dibahas dalam obrolan itu
semua adalah amru-dînikum.
Jelasnya, hadis itu bersumber dari Ibnu ‘Umar, anak
‘Umar bin Khtthab. Jadi Ibnu Umar menceritakan apa yang dialami bapaknya, yaitu
menyaksikan obrolan antara Rasulullah dengan seorang lalaki asing. Di akhir
obrolan, lelaki asing itu pergi. Lalu Rasulullah bertanya kepada ‘Umar, “Ya
‘Umar, a tadri man-isã’il?” Jawab ‘Umar, “Allahu wa rasuluhu a’lamu.” Kata
Rasulullah, “Innahu Jibril, atãkum yu’allimukan amra dînakum.”
Jadi, yang perlu diperhatikan, Nabi menyebut yang lima
itu (îslãm, îmãn, ihsãn, sã’ah, ammãtus-sã’ah) sebagai amru dînikum (dalam
teks hadis amra dînakum karena posisinya objek).
Coba kita perhatikan. Bila kita cermati kata-kata
Rasulullah yang terakhir itu, maka bisa dikatakan bahwa judul percakapan beliau
dengan Jibril itu adalah amru dînikum, alias Dînul-Islãm(i). Tapi
di dalam Dînul-Islãm ini ada lagi Al-Islãmu). Kenapa? Ini yang
perlu kita kritisi. Kok di alam Dînul-Islãm ada Al-Islãm? Kalau
begitu, Al-Islãm yang ini (yang dirumuskan menjadi Rukun Islam) adalah
sesuatu yang lain. Lain dalam hal apa? Lain dari sisi apa?
Kalau kita bicara tentang Dînul-Islãm itu kan
mencakup semua ajaran Islam. Tapi Al-Islãm dalam konteks Hadis Jibril
itu kan oleh Nabi hanya dibatasi lima butir saja. Dan kadang-kadang Hadis
Jibril ini memang oleh Rasulullah dipecah. Misalnya yang populer itu kan hadis
yang dimulai dengan kata buniya ya. Buniyal-islãmu ‘ala khamsin…
Ingat! Kalau kita menyebut kata buniya, itu
adalah kata kerja pasif. Kata kerja aktifnya adalah banã. Dan mashdarnya
adalah binã’an dan atau bun-yãn.
Apa itu bun-yãn (bangunan)? Bun-yãn itu
sama dengan bait (rumah). Apa rumah? Tempat tinggal. Kalau baitullah
memang tempat tinggal Allah? Atau rumahtangga? Terus, kalau Nabi bilang baiti
jannati, apa itu rumah tangga pribadi? Bait Nabi dengan baitullah
sama engga?
Bait Nabi dengan baitullah sama engga?
Bagaimana saudara-saudara menjawab pertanyaan ini?
Bagaimana cara menjawabnya?
Kalau saudara-saudara belajar metode, maka harus
menjawab secara metodologis. Kita akan menjawab dengan ayat: Innallaha wa
malã’ikatahu yushallûna ‘alan-nabiyy… dan seterusnya. Kita tanya lagi: shalawat
Allah dengan shalawat Nabi sama engga? Dengan shalawat Malaikat,
sama engga? Dengan shalawat mu’min, sama engga?
Terus, orang shalat di mana? Di masjid. Masjid itu
apa? Baitullah. Kalau begitu, baitullah dengan baitun-nabi, sama engga? Sama!
Kalau begitu, dalam bahasa Indonesia, apa terjemahan baitullah
itu? Rumah Allah, atau apa? Kita memahaminya sebagai organisasi yang
ditegakkan dengan ajaran Allah. Begitu juga halnya dengan baitun-nabi.
Jadi, ketika Nabi mengatakan baiti jannati itu jangan dipersempit
pengertiannya menjadi rumahku surgaku, atau rumahtanggaku surgaku saja. Dengan
Khadijah di dalamnya, dengan Aisyah di dalamnya, dengan istri-istri yang lain
di dalamnya. Lalu bagaimana rumahtangga para sahabat? Rumahtangga para
mu’min yang lain?
Jadi, kalau Nabi bicara itu bukan subjektif.
Ingat posisinya sebagai uswatun hasanah. Dalam hal apa? Dalam
segala hal. Dalam pelaksanaan Dînul-Islãm. Jadi, dengan demikian, baiti
= jamã’ati. Jama’ahku jannahku. Coba pikir, kalau hanya rumahtangga Nabi
yang Jannah tapi rumahtangga umatnya berantakan, berarti Islam itu bukan konsep
untuk membangun jannah di dunia ini.
Begitu ya. Kalau kita berpikir metodis, kita akan
menemukan jawaban-jawaban yang ‘nyambung’. Yang logis.
Syahadat
Jadi, Dînul-Islãm, jama’ah Islam, organisasi
Islam, ditegakkan dengan lima asas atau lima prinsip. Yang pertama apa?
Dikatakan dalam hadis… an tasyhada. Anda bersyahadat. Nah, selama ini
kan kita tidak pernah memahami syahadat dalam konteks Islam sebagai organisasi
itu apa. Sekarang kan kita bersyahadat asal ngomong saja… Asyhadu an lã
ilaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasulullhah… Kalau cuma
begitu, itu namanya bukan bersyahadat tapi cuma ngomong dua kalimat syahadat.
Kalau syahadat misalnya diartikan sumpah, mengucapkan kata-kata sumpah itu
bersumpah bukan? Belum tentu. Karena kalau bersumpah itu biasanya harus ada
saksi. Ya memang bisa saja bersumpah sendirian. Tapi kalau bersumpah sendirian
sama dengan engga ada organisasi. Iya engga? Kalau kita bersumpah sendirian,
kan berarti kita engga punya organisasi! Bersumpah pada diri sendiri! Iya
kan? Lalu, siapa yang akan mengeritik? Siapa yang akan mengoreksi kalau kita
menyalahi sumpah kita sendiri? Ya sendiri aja. Memang agama bisa ditegakkan
sendirian?
Makanya saya sering ulang berkali-kali bahwa
menegakkan iman itu tidak bisa sendirian. Berorganisasi itu tidak bisa
sendirian. Termasuklah saya di sini juga, dalam kelompok kecil ini, engga bisa
sendirian kan? Ngoceh sendirian. Ngapain? Apa enaknya?
Jadi, sekarang kita memahami syahadat dalam konteks
organisasi. Dalam konteks jama’ah. Nah, kalau dalam konteks organisasi,
syahadat itu sama dengan baiat. Wah, ini Darul Islam nih kalau
begini. Jangan-jangan Bang Husein kayak Moshadeq. Lama-lama ngaku rasul
juga! Haha!
Tapi, saya tegaskan kembali ya. Kita memahami Islam
ini baru sebatas ilmu ya. Nanti mau diterapkan atau engga, terserah lah. Tapi,
kembali, kalau terserah, kalau tujuannya cuma mengusai ilmu, hasilnya ya akan
seperti yang dulu-dulu. Belajar, belajar, belajar. Ngaji x ngaji + ngaji,
ngoja-ngaji terus. Ya cuma seputar ngaji. Untuk apa ngaji? Ya untuk ngaji…
Sehingga saya mengungkapkan sebuah humor, sebuah karikatur, atau anekdot dari
Si Kabayan kan? Kabayan lagi gali tanah, ditanya, “Kabayan, ngapain gali
tanah?” Buat tanam pisang. “Untuk apa nanam pisang?” Ya untuk makan. “Untuk apa
makan?” Ya untuk gali tanah.
Mau engga kita seperti itu? Misalnya, kita cari duit. Untuk
apa cari duit? Untuk beli makanan. Untuk apa makan? Ya supaya hidup. Untuk apa
hidup? Ya supaya bisa cari duit. Mau engga seperti itu?
Jadi, saya melihat dalam konteks organisasi, syahadat
itu sumpah setia. Sumpah setia mau ngapain? Ya sesuai kalimatnya. Lã ilaha
illallahu… Muhammadun rasulullah. Nah, itu pernyataan umum, bahwa kita mau
hidup dengan ajaran Allah, mengikuti sunnah rasulNya. Pada masa Rasulullah,
syahadat ini diucapkan di depan siapa? Apa diucapkan sendirian? Di depan
Rasulullah! Sehingga kalau sekarang orang mengartikan syahadat itu
bersaksi, itu sebuah kesalahan. Karena kalau bersaksi kan kita menyaksikan.
Kalau syahadat diterjemahkan sebagai kesaksian atau penyaksian,
boleh. Artinya, katakanlah saya seorang Kristen, masuk Islam, saya bersyahadat.
Itu artinya saya melakukan penyaksian. Melakukan upacara penyaksian, supaya
masuk Islamnya saya itu disaksikan orang. Selain itu, nanti saya juga
mendapatkan kesaksian berupa dokumen.
Apa manfaatnya melakukan penyaksian? Ya itu tadi,
supaya ada yang mengontrol, supaya ada yang mengoreksi. Kalau mengacu pada
surat Al-Ashr, supaya ada yang melakukan tawashau bil-haqqi. Dan untuk itu saya
memberi ijin, bahkan mengharapkan, untuk dinasihati. Kalau sekarang, apa anda
kasih ijin orang menasihati? Paling-paling, kalau anda buat salah dan orang
menasihati, anda akan bilang, “Apa hak elu nasihatin gue? Ini urusan pribadi.
Salah atau benar, ini urusan gue sama Allah! Begitu kan? Apalagi kita
sering dengar orang bilang agama itu urusan individu masing-masing dengan
Tuhan. Makanya surat Al-Ashr engga laku, engga bisa dipakai untuk
memperingatkan orang!
Jadi, kalau saya bersyahadat, bukan saya yang
menyaksikan bahwa tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad rasulullah, tapi
orang-orang di di depan saya, di sekeliling saya, menyaksikan bahwa saya telah
berumpah untuk hidup dengan ajaran Allah…
Berikutnya, ada engga, kira-kira, peraturan yang harus
saya ikuti?
Kalau kita masuk organisasi bernama Dînul-Islãm, peraturannya
ada di mana? Dalam kitabullah. Maka kitabullah itulah yang kemudian harus
dipelajari.
Shalat: pengenalan visi dan missi
Berikutnya, ada engga peraturan organisasi? Pasti ada.
Kalau kita masuk Dînul-Islãm, aturan organisasinya terdpat di mana? Di mana?
Tentu di dalam Kitabullah. Karena itulah butir berikutnya dari buniyal-Islãmu
‘ala khamsin adalah ash-shalah. Shalat. Apa shalat?
Kata hadis, ash-shalatu hiyad-du’ã’. Kalau kata
Al-Qurãn, shalat itu apa? Shalat itu kitãban. Atau shalat itu qurãnan.
Surat apa tuh? Cari sendiri.
Ingat kita sedang menyorot shalat dalam konteks
organisasi. Ash-shalatu kitãban. Atau ash-shalatu qurãnan. Kitãban mengacu pada
Al-Kitãb(u), qurãnan mengacu kepada Al-Qurãn. Al-Kitãb dengan Al-Qurãn sama
engga?
Jadi, isi dari shalat itu apa? Al-Kitãb, atau
Al-Qurãn. Jadi, kitãban itu pembentukan kesadaran berdasar Al-Kitãb. Atau
pembentukan kesadaran dengan Al-Qurãn.
Ingat kembali. Kita berbicara tentang organisasi.
Shalat dalam konteks organisasi adalah pengenalan visi dan missi organisasi.
Islam sebagai organisasi, visi dan missinya ada di mana? Di dalam Al-Qurãn. Apa
ada di luar itu? Tidak mungkin kan? Visi dan missi Dînul-Islãm itu ada di dalam
Al-Qurãn, dan kita mengenalnya, memasukannya ke dalam kesadaran, melalui
shalat. Dalam shalat, minimal, kita membaca surat Al-Fatihah, yang kedudukannya
jelas sebagai ummul-kitãb, muqaddimah atau pendahuluan dari Al-Kitãb, yang
dalam kajian sistematikan Al-Qurãn kita tegaskan bahwa isi Al-Fatihah itu
mewakili sudut pandang deduktif. Dalam konteks organisasi, sudut pandang
deduktif ini setara dengan visi.
Artinya, katakanlah untuk contoh gampang, kita baru
masuk Islam, kalau sekarang katanya jadi mu’allaf. Cuma lucunya sekarang itu
kalau ada orang Cina, misalnya, masuk Islam, sudah 10 tahun masih disebut
mu’allaf juga. Itu konyol.
Jadi, begitu pertama kali kita masuk Islam,
bersyahadat, menyatakan sumpah setia. Jadilah anggota organisasi secara formal
(resmi). Selanjutnya, untuk mengenal visi dan missi Dînul-Islãm itu ya
shalat. Minimal dengan membaca Al-Fatihah. Karena baru kan? Kalau orang baru,
masa’ harus baca Al-Qurãn semuanya? Engga bisa kan? (Yang lama juga engga
bisa!). Cukup baca Al-Fatihah saja, karena itu sudah mewakili Al-Qurãn. Karena
itu pendahuluan kan? Katakanlah sudah mewakili gagasan inti Al-Qurãn.
Seperti pernah saya ungkap, Al-Fatihah itu mewakili
pernyataan atau ikrar semua ‘umat Islam’ ya? Karena di dalamnya kan ada dhamîr
(kata ganti nama) nahnu (kami). Jadi bukan saya atau aku ya? Jadi, kalau ini
pernyataan dari nahnu, Al-Fatihah ini lagi bicara apa? Bicara al-jamã’ah.
Ini bukan urusan pribadi. Al-Fatihah itu mewakili omongan jama’ah.
Walaupun dia shalat sendiri, tetap pakai nahnu. Engga jadi ana kan? Apa kalau
shalat sendiri bacaannya menjadi ihdi shirãthal-mustaqîm? Tetap ihdinã!
Walaupun shalatnya sendirian, mati lampu, engga ada yang lihat. Tetap ihdinã.
Ini mewakili kesadaran jama’ah. Ini saja sudah menjadi indikasi (isyarat),
bahwa ketika kita masuk sebuah organisasi, berarti kita memasuki sebuah
jama’ah. Jadi, naif sekali kalau kita terus ngoja-ngaji tapi tidak menyadari
bahwa ujung-ujungny kita harus membentuk jama’ah.
Kalau bicara organisasi, bicara visi dan missi, maka
visi dan missi organisasi Islam itu terdapat di dalam Al-Qurãn. Kalau visi itu
bersifat umum, mewakili pandangan umum, sedangkan missi itu mengacu pada
kekhususan atau pengkhususan. Mengacu pada hal-hal yang lebih khusus, lebih
konkret, lebih rinci.
Sekali lagi, kalau visi ini bersifat umum, pandangan
secara umum, missi ini lebih bersifat khusus. Jadi kalau menggunakan istilah
ini, Al-Fatihah mewakili visi. Karena ada nahnu di situ, maka dia
mewakili visi. Artinya, visinya itu mengacu ke sini. Dengan membaca Al-Fatihah
itu kita menyadari diri sebagai bagian dari jama’ah.
Kembali ke matan hadis, yang pertama an tasyhada … yang
kedua wa tuqimash-shalata…
Kemudian, yang ketiga tu’tiyaz-zakata…
Pendanaan organisasi
Kalau bicara zakat, biasanya asosiasi kita langsung
kepada… al-mãl(u). Apa? Harta, atau … dana. Organisasi butuh dana. Itu
pasti. Jadi, kalau berbicara zakat dalam konteks organisasi itu adalah pen-dana-an.
Pendanaan jama’ah. Jadi, masuk organisasi, mengenal visi dan missi, terus ikut
mengeluarkan zakat, dalam arti ikut mendanai. Bukan keluarin zakat, misalnya
berupa duit, lalu terserah ãmil (petugas). Ãmil akhirnya jadi tukang
ambil aja kan? Selanjutnya ke mana? Terserah dia.
Jadi, di sini kita lihat bahwa untuk menegakkan Islam
sebagai organisasi itu, pertama harus ada sumpah setia, kedua harus mengenal
visi dan missi, melalui shalat itu. Otomatis kan? Shalat itu memasukkan visi
dan misi Al-Qurãn secara bertahap kan? Lama-lama semakin meningkat. Semakin
luas.
Berikutnya, az-zakah. Kalau dibawa ke fiqih,
zakat itu kan berarti zakat fitrah dan zakat mãl, yang dibatasi sejumlan 2,5%
dari kekayaan.
Tapi di sini adalah pendanaan jama’ah. Tanya Abu
Bakar, berapa persen yang dikeluarin? Semua. Sehingga ketika ditanya
Rasulullah, “Hey, Abu Bakar, di rumah kamu masih ada engga?” Engga ada,
katanya. Yang ada cuma Allah dan rasulNya. Keren engga Abu Bakar? Yang ada cuma
Allah dan rasulNya! Berarti, habis engga hartanya? Artinya, Abu Bakar siap
mengeluarkan dana demi kepentingan jama’ah. Wah, kalau gitu, masuk Islam jadi
miskin dong? Emang iya! Abu Bakar itu menurut sebuah buku, kalau saya tak salah
ingat, mempunyai kekayaan sekitar limapuluh ribu dinar. Yang tersisa ketika
hijrah cuma lima ribu dinar. Atau sekitar 5% saja(?).
Jadi Abu Bakar yang kaya itu, setelah hijrah,
kekayaannya hanya tersisa lima persen. Siapa yang tidak takut? Siapa yang tidak
takut kehilangan hartanya, sehingga tinggal lima persen? Siapa yang tidak
takut?
Makanya, yang paling berat itu adalah mendanai jama’ah
seperti Abu Bakar. Kalau Cuma nyumbang 2,5% persen itu engga berat ya? Kalau
saya punya uang seribu, dua setengah persen dari seribu, berapa sih? Sedikit
kan? Tapi kalau sejuta? Cukup banyak. Seratus juga? Lebih banyak lagi.
Semilyar?
Kalau otaknya kapitalis, dua setengah persen dari
semilyar itu kan bisa jadi modal usaha. Tapi kalau Abu Bakar, berhitungnya
engga begitu. Saya kasih semua dah! Lalu, anak-binya gimana? Nah, ini yang
orang lupa! Abu Bakar itu seorang pengusaha. Kalau kita berotak pengusaha,
kekayaan itu di mana? Kekayaan itu bentuknya uang atau barang?
Kekayaan itu uang atau barang?
Uang (sahut peserta).
Uang dan barang (sahut peserta yang lain).
Mana duluan; uang atau barang?
Zaman dulu ada uang engga?
Kalau bicara barang, ada makanan, minuman; ada kayu, ada
batu, ada besi, ada perak, ada emas. Barang semua kan? Siapa yang bikin itu
semua?
Tuhan yang bikin (sahut peserta).
Kenapa kita bilang itu punya kita? Kapan kita bikin?
Nah, kemudian manusia bikin uang. Untuk apa? Sebagai
alat tukar…
Jadi, mengakui bahwa segala sesuatu milik Allah, ini
yang sulit.
“Tapi kalau kita punya anak, yaa kita harus bilang
anak kita! Jangan bilang itu anak Allah! Masa’ Allah punya anak?” (celetuk
peserta).
Yaa harus kita pahami bahwa yang dimaksud itu kita mau
menyatakan bahwa kita tidak memiliki apa-apa. Semua itu punya Allah. Karena
itu, kita mau diatur oleh Allah. Bukan berarti kita engga boleh bilang punya
rumah, punya duit, punya anak… Yang dimaksud adalah pada hakikatnya semua itu
milik Allah, diserahkan kepada kita sebagai amanah. Amanah Allah di tangan
kita. Anak, amanah Allah di tangan kita. Kalau titipan, harus diperlakukan
seperti apa? Sesuai kehendak yang menitipkan! Duit di rumah, ada sekian milyar.
Titipan Allah! Diperlakukan, dimanfaatkan, sesuai dengan maunya Allah. Nah,
siapa yang tidak takut? Siapa yang tidak takut berbuat seperti Abu Bakar?
Kebanyakan, takut! Walaupun bilangnya berani. Beraninya berani kabur!
Jadi, kalau kita bicara zakat dalam konteks
organisasi, zakat adalah pendanaan organisasi. Dan di sini bukan bicara
presentase lagi, karena ini bukan bicara zakat dalam pengertian fiqh ya? Bukan
yang dua setengah persen itu. Karena inti dari pengorbanan mu’min itu adalah
pengorbanan harta dan jiwa. Tujahiduna bi-amwalikum wa anfusikum! Berjihad.
Bersungguh-sungguh mengorbankan harta dan jiwa. Jadi, tak ada prosentase.
Semua!
Siapa yang engga takut?
Takut semua!
Engga ada yang jadi dah!
Jadi, intinya, dalam organisasi itu harus ada
pendanaan. Nah, di situ, yang paling mampu (kaya) memberikan dana paling banyak.
Tapi dengan catatan bahwa dengan adanya jama’ah itu kan nanti ada baitul-mãl(i)
ya?
Fungsi baitul-mãl
Apa fungsi baitul-mãl?
Baitul-mãl itu, di samping untuk menghidupkan jama’ah, … kan
nanti dana yang masuk ada pembagiannya kan. Ini untuk infra struktur, misalnya.
Apa infra struktur? Gedung, misalnya. Sarana fisik ya? Dan lain-lain dah.
Termasuklah nanti untuk subsidi. Untuk BLT lah. Apa? Bantuan Langsung Tewas?
Haha! Bantuan langsung tunai. Bantuan dari pemerintah, langsung diterima,
kontan.
Jadi, ketika dana masuk ke dalam baitul-mãl
jama’ah, dana itu tidak boleh musnah. Fungsi jama’ah itu adalah membuat dana
mengalir. Mengalir kepada yang berhak. Dengan kata lain, jama’ah juga harus
mampu menghidupkan ekonomi anggotanya… Sehingga nanti yang pertama menjadi mustahiq,
berikutnya menjadi muzakki.
Jadi, sekali lagi, dana yang masuk, diterima ãmil
itu, jangan musnah ya? Siapa ãmil? Tukang ngambil? Ãmil itu
petugas. Kalau dalam bahasa Arab sekarang, muwazhaf. Apa itu muwazhaf?
Pekerja. Pegawai kantor.
Jadi, jama’ah itu, dari anggota untuk anggota.
Mirip demokrasi?
Bukan dari anggota untuk pemimpin ya? Kalau jama’ah
tidak dihidupkan, anggota terlantar. Seperti saya cerita soal beli buku itu.
Semua anggota harus punya satu buku. Tapi kita kan tidak semua punya uang. Maka
yang duitnya berlebih, beli dua buku. Satunya untuk siapa? Untuk yang tidak
mampu membeli. Dan yang tidak mampu, tidak boleh malu. Karena kita adalah… kullu
mu’minin ikhwatun. Semua mu’min itu bersaudara.
Kemudian, ingat juga bahwa dalam istilah zakat itu,
selain ada pengertian bersih, ada pengertian tumbuh ya?
Pengertian ini, keduanya harus muncul.
Seperti dalam pengertian umum, dengan mengeluarkan
zakat 2,5% harta kita bersih dari hak orang lain. Kalau masih ada hak orang
lain yang kita pertahankan, berarti harta kita kotor. Kemudian, tumbuh. Yaitu
yang 2,5% itu kita masukkan ke jama’ah, ke baitul-mãl, itu harus tumbuh.
Harus menumbuhkan ekonomi jama’ah. Harus mengalir ke setiap yang berhak.
Jadi jangan kita pahami mengeluarkan zakat,
mengeluarkan uang receh itu, sebagai sekadar buang dosa ya? Buang dosa setahun
sekali, dengan mengeluarkan 2,4% persen. Itu pun kalau hartanya sudah sampai nishab.
Kalau yang belum, ya engga berzakat. Jadi dengan demikian, oramg yang pelit
jadi aman kan? (Apakah untuk ikut mendanai jama’ah harus menunggu kaya?).
Ketahanan fisik dan mental
Kemudian butir yang keempat, ash-shaum.
Ash-shaum(u) itu intinya ash-shabr(u). Apa ash-shabr?
Ketahanan fisik dan mental. Untuk mempertahankan apa? Kembali ke tema.
Pokoknya, biar lapar, biar haus, biar lemas, gua mau mempertahankan Al-Qurãn!
Intinya, shaum dalam konteks jama’ah adalah pembinaan
ketahanan fisik dan mental untuk menegakkan dan mempertahankan Al-Qurãn. Kalau
menurut fiqh kan terbalik. Puasa untuk cuci dosa. Kalau puasanya engga batal,
dosanya bersih. Dikutiplah dalil man shama ramadhana imanan wahtisaban
ghufira lahu min dzanbihi ma taqaddama wa ma ta’akhara. Jadi, kalau sudah
puasa sebulan, dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang, diampuni!
Dihapus.
Kalau dosa yang akan datang sudah dihapus, padahal
kita belum berbuat dosa, berarti harus berbuat dosa dulu kan? Makanya, setelah
puasa, saya harus nyolong, harus nipu dulu, supaya bisa diampuni kan? Jadi,
pemahaman seperti itu, kira-kira membuka peluang untuk berbuat jahat engga?
Kalau begitu, bagaimana kita memahami ghufira lahu
min dzanbihi ma taqaddama wa ma ta’akhara?
Kita bahas kata ghufira dulu ya?
Ghufira itu kata kerja pasif (fi’lul-majhul).
Kata kerja aktifnya, ghafara, yang menurut kamus Al-Munjid berarti (1) ghatã
(menutup), dan (2) ashlaha (memperbaiki).
Tinggal pilih. Kalau kita pakai menutup, maka
dengan berpuasa, segala kesalahan yang dulu dan yang akan datang, kita tutup.
Dengan apa nutupnya? Siapa yang nutup? Apa Allah yang nutup? Kita! Dengan
memungsikan puasa, dosa yang dulu kita tutup. Artinya, tidak diulang. Selesai.
Yang dilakukan dulu, ya sudah selesai. Jangan diulang. Dosa yang akan datang?
Yaa ditutup juga kan? Jangan buka peluang lagi.
Kalau bicara yang ngampunin, siap yang ngampunin?
Ini bukan soal ampunan kok. Tapi dengan menjadi
mu’min, dengan – antara lain – melakukan shaum, kan berarti mengamalkan
Al-Qurãn kan? Jadi, dengan shaum ini, dengan memungsikan Al-Qurãn, saya tutup
dosa saya, kesalahan saya, baik yang saya lalukan di masa dahulu maupun di masa
yang akan datang! Ini, dengan kata lain, kita melakukan perbaikan (ashlaha)
diri! Makanya dalam hadisnya, kan penekanannya pada man shama
ramadhana imanan wahtisaban… Bukan puasa asal puasa, tapi berdasar iman,
berdasar ihtisab. Dengan menerapkan rumusan iman ‘aqdun bil-qalbi wa iqrarur
bil-lasani wa ‘amalun bil-arkani.
Ihtisaban, Al-Qurãn menjadi alat hisab, alat hitung, menjadi
tolok ukur, segala macam lah. Apalagi kalau kita berpikir shaum dalam konteks
organisasi. Ini untuk pembinaan ketahanan organisasi. Perlu engga? Untuk apa
masuk organisasi ini? Untuk menegakkan Al-Qurãn. Perlu engga ketahanan atau
pertahanan? Siapa yang melakukan ini? Para anggotanya!
Terus, yang kelima apa? Hajj…
Haji adalah muktamar
Jadi, kalau butir 1 sampai 4 itu hanya mencakup
organisasi internal satu jama’ah saja, urusan dalam negeri saja, al-hajj(u) itu
urusannya sudah antar organisasi, antar jama’ah, antar bangsa, antar negara.
Seperti kata sebuah dalil, Al-hajju mu’tamar.
Haji itu muktamar. Atau Al-hajju ‘arafah. Haji itu sebuah proses saling
kenal. Kalau sekarang kan orang mengartikan haji itu puncaknya ngumpul di
padang Arafah. Walaupun engga saling kenal, yang penting kumpul di situ!
Secara ritual, mungkin benar begitu. Semua orang
berkumpul di Arafah. Tapi intinya adalah melakukan proses saling kenal.
Kemudian, muktamar. Apa muktamar? Kira-kira sama dengan konferensi. Untuk apa?
Membahasa permasalahan umat seluruh dunia, secara ilmiah. Makanya al-hajju
itu kan sebenarnya isim fa’il. Kata kerjanya apa? Hajja. Berhujah,
berargumen. Dalam arti membahas masalah dengan mengajukan dalil-dalil ilmiah.
Saling tukar pengetahuan ilmiah. Saling tukar ilmu. Nah, al-hajju itu adalah
pelaku muktamar itu. Orang yang bisa saling tukar ilmu. Orang yang bisa
melakukan barter ilmu. Jadi, dia atau mereka, adalah delegasi yang membawa
missi dari setiap internal jama’ah. Dari setiap jama’ah lokal.
Makanya kalau kita bicara secara ilmiah, haji kecil
(umrah) itu apa? Satu utusan (wakil) jama’ah, bertemu utusan jama’ah yang lain.
Misalnya, dua jama’ah bertemu. Ini bisa jadi pertemuan jama’ah lokal, bisa juga
internasional. Kalau di Makkah itu sudah pasti kelasnya internasional, karena
yang bertemu adalah para duta bangsa.
Jadi, kalau begitu, bisa engga sembarang orang pergi
haji?
Syaratnya apa? Man-istatha’a ilaihi sabilan.
Istatha’a (mampu; sanggup) dalam segi apa? Segi duit? Dalam segi ilmu! Yang
siap jadi duta bangsa. Duta jama’ah. Kalau begitu, bagaimana yang pintar tapi
miskin? Yaa diongkosin oleh jama’ah. Itulah gunanya zakat tadi; antara lain
untuk mendanai haji.
Kalau begitu benar dong orang yang pergi haji dengan
dana pemerintah? (tanya peserta).
Yaa benar, dalam arti dia sebagai pejabat, misalnya,
didanai pemerintah. Tapi missinya apa? Jalan-jalan! Cuci dosa. Ngilangin
stress. Kayak para artis itu kan? Stres karena habis cerai, atau minta jodoh,
pergi haji ke Makkah.
Demikianlah prinsip-prinsip organisasi dalam
Dînul-Islãm ya? Ada lima.
Bagaimana dengan umrah? (tanya peserta). Itu kan
semacam pertemua tidak resmi. Seperti halnya puasa di luar Ramadhan.
Kalau haji wada’? (tanya peserta yang lain).
Itu kan haji perpisahan ya? Kalau tak salah, Nabi
berhaji hanya satu kali. Di sini yang terpenting adalah khutbahnya. Nanti kita
akan bahas apa itu Khutbah Wada’ ya?
Selain itu, hal berikutnya setelah Al-Islãm dalam
Hadis Jibril itu kan Al-Ĩmãn ya? Ini akan kita bahas dalam pertemuan
berikutnya.(ah)